Puisi Sunda
Téddi Muhtadin
kalér deui kalér deui,
sapanjang néangan wétan,
kulon deui kulon deui,
sapanjang néangan aya,
euweuh deui euweuh deui.
Sepanjang mencari selatan,
hanya utara yang kujumpa,
sepanjang mencari timur,
hanya barat yang kujumpa,
sepanjang mencari ada,
hanya tiada yang kujumpa.
(Haji Hasan Mustapa)
Puisi adalah
istilah baru yang digunakan untuk menandai bentuk-bentuk sastra yang sudah
terlebih dahulu ada. Istilah puisi baru
dikenal dalam khasanah kesusastraan Sunda sekitar awal abad ke-20, yakni saat
sarjana-sarjana Belanda mulai meneliti kesusastraan Sunda. Dalam penelitian
tersebut, tentu saja, mereka memahami sastra Sunda dengan terminologi sastra
Barat. Terminologi sastra Barat itu, di antaranya, membedakan karya sastra
berdasarkan puisi, drama dan cerita. Menurut Luxemburg (19), misalnya, puisi
pada hakikatnya adalah monolog, drama adalah dialog, dan cerita adalah campuran
di antara keduanya.
Penjelasan lain
yang lebih khusus, dalam Kamus Istilah
Sastra (1992) yang disusun oleh Iskandarwassid, dikatakan bahwa puisi
adalah bentuk karangan yang berirama serta terikat dalam bentuk dan diksinya. Menurut
Iskandarwassid puisi biasanya dibedakan dengan kalimat dalam bahasa sehari-hari
dan dengan prosa. Dalam kamus tersebut dijelaskan pula bahwa puisi menggunakan
bahasa yang khas, yang mencakup pilihan kata, frase, dan perbandingan yang
seringkali tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Selanjutnya dijelaskan
bahwa puisi mengutamakan konotasi, menciptakan frase baru, irit kata, dan hanya
deskripsi, sehingga seringkali samar.
Berdasarkan
pengertian puisi tersebut saya berusaha menjawab empat pertanyaan, yaitu (1) bentuk-bentuk karya sastra Sunda apa sajakah
yang biasa dikelompokkan ke dalam puisi? (2) sejak kapan puisi dikenal dalam kesusastraan
Sunda? (3) bagaimana pertautan antara puisi Sunda dengan puisi-puisi Nusantara
dan dunia? Dan, (4) bagaimana perkembangan puisi Sunda kini?
Bentuk Puisi Sunda
Bentuk puisi Sunda ,
menurut Iskandarwassid (1992), dapat dibedakan berdasarkan waktu dan narasinya.
Berdasarkan waktunya puisi Sunda dibedakan antara puisi lama atau tradisional
dengan puisi baru atau modern. Puisi tradisional Sunda kemudian terbagi lagi
menjadi dua kelompok, yaitu (1) puisi berbentuk cerita dan (2) puisi yang tidak
berbentuk cerita. Termasuk ke dalam puisi berbentuk cerita adalah pantun dan wawacan. Termasuk ke dalam puisi yang tidak berbentuk cerita ialah mantra (jangjawokan, singlar, jampé, asihan), sisindiran (rarakitan, paparikan, wawangsalan), kakawihan (barudak), dan sa’ir (pupujian, sawér, dst), pupuh (dangding, guguritan). Dan, yang termasuk puisi baru adalah sajak.
Sejalan dengan
Iskandarwassid adalah pendapat Maryati Sastrawijaya. Kedua ahli ini membagi puisi
Sunda ke dalam dua kelompok yakni puisi tradisional dan puisi modern. Namun, dalam
hasil penelitiannya Maryati Sastrawijaya (1995: 45) menemukan bahwa puisi Sunda
itu memiliki 18 jenis, yang terdiri atas 12 puisi tradisional dan 6 jenis puisi
modern. Termasuk ke dalam jenis puisi tradisional itu ialah mantra, kakawihan barudak, sisindiran, sawér,
pantun, gondang, sa’ir, pupujian, wawacan, babad, guguritan, dan wawangsalan. Dan, yang termasuk ke
dalam jenis puisi modern ialah sajak,
drama puisi, gending karesmén, jemblungan, rumpaka kawih, dan rumpaka tembang cinjuran.
Selain
Iskandarwassid dan Maryati Sastrawijaya yang membicarakan puisi Sunda adalah
Ajip Rosidi. Termasuk ke dalam puisi Sunda ini, menurut Ajip Rosidi (2007: 5) adalah
bentuk-bentuk karya sastra yang terdapat dalam naskah kuno, jangjawokan,
pantun, sisindiran, pupujian, sawér, guguritan, wawacan, gending karesmén,
tembang, kawih, sajak, dan drama
berbentuk sajak.
Menurut hemat saya pengelompokkan
bentuk-bentuk puisi yang dilakukan Iskandarwassid lebih mendasar dibandingkan
dengan pengelompokkan oleh Maryati Sastrawijaya dan Ajip Rosidi. Akan tetapi,
pembagian dari Maryati Sastrawijaya dan Ajip Rosidi juga penting untuk melihat
pengembangan kreativitas dari bentuk dasar puisi Sunda. Dibandingan dengan
pengelompokkan Iskandarwassid dan Ajip Rosidi, dalam pengelompokkan Maryati
Sastrawijaya muncul jenis puisi gondang, babad, jemblungan. Adapun yang
menarik dalam pengelompokkan Ajip Rosidi adalah munculnya puisi yang tercatat
dalam naskah Sunda kuno.
Dengan demikian
puisi Sunda dapat dilihat dari bentuk dasarnya yaitu naskah, pantun, mantra, sisindiran, kakawihan, sa’ir, pupuh, dan sajak. Yang dimaksud dengan naskah ialah puisi Sunda seperti yang
terdapat di dalam naskah-naskah Sunda kuno. Puisi-puisi tersebut berisi cerita
yang ditulis dalam bentuk puisi anusbuth,
puisi dengan delapan suku kata pada setiap lariknya. Bentuk puisi dalam naskah
Sunda kuno ini dapat dibandingkan dengan bentuk puisi lisan pantun. Baik puisi dalam naskah Sunda
kuno maupun pantun disusun dalam pola larik delapan suku kata.
Contoh yang dikutip
dari naskah “Para Putera Rama dan Rawana”:
Ongkarana sangtabéan.
Pukulun sembah rahayu.
Aing dék nyaksi ka beurang,
Aing dék nyaksi ka peuting,
candra wulan aditia,
deungeun sanghiang akasa,
kalawan hiang pretiwi,
ka batara Nagaraja,
ka nusia Awak Larang,
ka luhur ka sang Rumuhun,
nusia Larang di manggung.
…
Mantra merupakan
puisi tradisional yang berisi “doa” agar keinginan terlaksana atau terhindar
dari marabahaya. Menurut Iskandarwassid (1992) puisi mantra biasanya dibentuk dalam
larik-larik yang memerlukan irama dalam melisankannya. Ciri-ciri puisi dalam
mantra ini, di antaranya, adalah rima yang kuat dan repetisi. Termasuk ke dalam
puisi mantra ini adalah jajampéan, jangwawokan, parancah, singular, dan asihan.
Contoh:
Asihan Si Taruk Gadung
Sasoéh nu matak léwéh
Salambar nu matak édan
Saciwit nu matak ceurik
Nyeungceurikan aing kakasih
Ya hu ya hu ya Allah.
(R. Kartawinata, Golat, Panjalu, 1973)
Sisindiran sama
dengan pantun dalam kesusastraan Melayu, yakni bentuk puisi yang dibangun
dengan cangkang (sampiran) dan eusi (isi). Jika hubungan antara cangkang dan eusi hanya ditautkan oleh kemiripan rima maka sisindiran tersebut
disebut paparikan. Tetapi, jika kata
awal pada larik pertama cangkang
diulang pada larik pertama eusi dan
larik kedua dan seterusnya pada cangkang
diulang pada larik kedua dan seterusnya eusi,
sisindiran tersebut dinamakan rarakitan.
Selain rarakitan dan paparikan dikenal pula wawangsalan yang pertautan antara cangkang dan eusi-nya ditentukan oleh sebuah kata yang mesti ditebak.
Contoh sisindiran:
Saninten buah saninten,
saninten di parapatan.
Hapunten abdi hapunten,
bilih aya kalepatan.
Contoh wawangsalan:
Teu beunang di hurang sawah,
teu beunang dipikameumeut. (simeut)
Sa’ir
atau syair dalam bahasa Indonesia adalah bentuk puisi yang berasal dari
kesusastraan Arab. Umumnya terdiri atas empat larik dan pada setiap lariknya
dibangun dalam delapan suku kata, dan bersajak akhir a-a-a-a.
Contoh sa’ir:
Regepkeun ieu pépéling,
hirup kudu loba éling,
sabab ajal pasti datang,
urang moal bisa mungpang.
Sing inget kana papastén,
hadé goréng urang yakin,
éta kabéh paparinan,
Allah anu hakkul yakin.
Pupuh
adalah rakitan puisi (Iskandarwassid, 1992: 115-116) yang terikat dalam
aturan-aturan, baik bentuk maupun isinya. Bentuknya terikat pada jumlah larik
pada setiap bait dan pada banyaknya suku kata bunyi vokal akhir pada setiap
lariknya. Isinya terikat pada karakter pupuh
seperti sedih, gembira dsb. Jumlah pupuh
yang dikenal dalam sastra Sunda ada 17 yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, jurudemung, durma, gambuh, gurisa,
kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung,
sinom, dan wirangrong. Aturan-aturan
pada pupuh berkaitan erat dengan lagunya. Setiap pupuh memiliki lagu yang berbeda dengan pupuh yang lain. Berdasarkan frekuensi pemakaiannya ada yang
disebut pupuh/ sekar ageung (besar)
dan pupuh/sekar alit (kecil).
Disebut pupuh ageung karena sering digunakan, sebaliknya disebut pupuh alit karena jarang digunakan. Empat pupuh yang termasuk sekar ageung yaitu asmarandana,
dangdanggula, kinanti dan sinom, sedangkan
13 pupuh sisanya dikategorikan sebagai sekar
alit.
Contoh pupuh kinanti:
Sapanjang néangan kidul,
kalér deui kalér deui,
sapanjang néangan wétan,
kulon deui kulon deui,
sapanjang néangan aya,
euweuh deui euweuh deui.
Sajak
ialah bentuk puisi yang tidak terlalu terikat (Iskandarwassid, 1992: 130). Oleh
karena itu pada saat kemunculannya pada awal tahun 1950-an sajak biasa disebut sajak
bebas. Tentu saja, dikatakan tidak terikat atau bebas di sini jika
dibadingkan dengan pupuh yang tingkat
keterikatannya lebih kuat. Ketika sajak
muncul puisi pupuh sangat dominan. Sebenarnya,
menurut Iskandarwassid, sajak pun
masih terikat dengan konvensi puisi, misalnya diksi dan rakitan kata-katanya.
Contoh sajak karya Ganjar Kurnia:
Sora bedil lodong nu ngabeledag
neumbag jajantung
muncratkeun
daki-daki kalaipan
ngabudalkeun cimata mendet
ngabanjiran diri
tilelep – laput
ka tungtung buuk
aleu-aleu sora walilat
kawas ngaléléwé
unggal lebaran
cimata deui
cimata deui
ti lebaran ka lebaran
nyolédat deui
nyolédat deui
kertas kapitrahan
nu diilo dibulak-balik salila ied
belewuk pinuh kokotor
lapar puasa
ditambah ibadah (nu belang betong)
teu ngabual
hutang dosa sataun jeput
sataun deui
jeprut!
Dari bentuk dasar
puisi kemudian tercipta bentuk-bentuk puisi yang lebih besar. Misalnya dari pupuh dapat menjadi guguritan atau wawacan. Jika
beberapa pupuh bergabung dan
membentuk sebuah cerita maka puisi tersebut disebut wawacan. Jika ceritanya merupakan cerita historis maka wawacan tersebut disebut babad. Tetapi, jika hanya satu bentuk pupuh yang digunakan untuk menceritakan
sesuatu atau keadaan maka biasanya puisi tersebut disebut guguritan. Puisi pupuh
yang indah dalam bentuk guguritan di
antaranya ditulis oleh Haji Hasan Mustapa. Puisi pupuh dalam bentuk wawacan
di antaranya ditulis oleh R. Suriadiredja dengan judul Wawacan Purnama Alam.
Pupuh
dapat pula bergabung dengan sisindiran,
drama, atau seni suara. Oleh karena
itu, dalam khazanah sastra Sunda dikenal sisindiran
pupuh, gending karesmén atau tembang. Bentuk yang lain juga sama. Sajak dapat bergabung dengan drama menjadi drama bersajak. Sa’ir dapat menjadi nadoman atau sawér, dst.
Awal Puisi Sunda
Menurut perkiraan puisi
Sunda berawal dari puisi tradisional atau lebih tepatnya puisi lisan seperti sisindiran, kakawihan, atau mantra. Perkiraan
ini muncul karena di dalam kenyataan sastra lisan mendahului sastra tulisnya,
sebagaimana bahasa lisan mendahului bahasa tulisnya. Akan tetapi, seperti
pernah dijelaskan oleh Ajip Rosidi, puisi-puisi lisan tersebut baru dicatat
oleh para sarjana Belanda pada awal abad ke-20. Oleh karena itu, Ajip Rosidi menentukan
awal puisi Sunda dari eksistensinya di dalam naskah Sunda kuno.
Berkaitan dengan
hal ini ada satu buku yang patut dicatat, yaitu buku Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw. Buku tersebut
membahas secara filologis tiga puisi dalam naskah sunda kuno yang ditulis pada
abad ke-16, yaitu Para Putra Rama dan
Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Kisah
Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah.
Selain itu, Undang
Ahmad Darsa dalam disertasinya yang berjudul “Sewaka Drama dalam Tradisi Sunda
Kuno Abad 15-17” (2012) juga membahas salah satu puisi Sunda kuno yang paling
berpengaruh yaitu Séwaka Darma.
Dengan melihat
kemunculan awal puisi Sunda dalam naskah-naskah Sunda kuno ini, paling tidak
umur puisi Sunda itu hingga sekarang sudah lebih dari lima abad.
Pertautan
Jika kita cermati
puisi Sunda seperti yang tersurat di dalam naskah-naskah Sunda kuno maka kita
akan melihat pertautan puisi tersebut dengan bentuk sastra yang berasal dari
India. Bukan hanya ceritanya yang merupakan terjemahan dari khazanah sastra
India, namun bentuk nya pun menggunakan pola delapan suku kata pada setiap
lariknya. Bentuk puisi efik ini ini dapat kita bandingkan dengan puisi pantun.
Undang Ahmad Darsa pernah mengatakan bahwa hubungan pantun dengan naskah ini
bisa diibaratkan dengan karya sejarahwan dan sineas.
Sisindiran
bertaut dengan bentuk-bentuk puisi pantun dalam sastra Nusantara. Sa’ir bertaut dengan sastra Arab. Pupuh bertaut dengan sastra Jawa. Sajak bertaut dengan sajak Indonesia dan
dunia pada umumnya.
Dilihat dari sudut
pandang ini sastra Sunda bukanlah sastra yang terkucil namun merupakan bagian
dari sastra Nusantara bahkan dunia.
Puisi Sunda Kini
Dalam sastra Sunda,
bentuk puisi yang satu tidak mengalahkan bentuk puisi yang lain. Bentuk puisi
yang satu berjalin berkelindan dengan bentuk puisi yang lain. Akan tetapi,
tentu saja, selalu ada bentuk puisi yang menonjol dari bentuk puisi lainnya.
Puisi-puisi dalam
naskah Sunda kuno satu per satu telah dialihaksarakan ke dalam huruf Latin dan
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu menjadikan naskah sunda kuno
mulai dapat dipahami isinya. Menurut cacatan Undang Ahmad Darsa (2011: ) ada 14
naskah Sunda kuno berbentuk puisi yang sudah dikerjakan oleh para sarjana, di
antaranya, ialah Séwaka Darma, Carita
Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Kawih Paningkes, Jatiraga, Darmajati, dan Sang Hyang Raga Dewata.
Puisi-puisi mantra dan pantun masih diamalkan dalam kehidupan, terutama di desa atau di kampung
adat. Di desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Baduy, puisi mantra dan pantun masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Begitu pun
di kampung adat lain seperti Ciptagelar, Sirnarasa, Kampung Dukuh atau Kampung
Naga. Masyarakat di desa dan kampung-kampung tersebut masih sangat erat
berhubungan dengan kehidupan alamnya. Padi yang merupakan makanan pokok
dihormati sebagai penjelmaan dari Dewi Sri.
Puisi sa’ir masih terdengar dilantunkan dari
corong pengeras suara mesjid di desa-desa. Puisi ini merupakan bgaian dari
tradisi pesantren. Tahun 2011 Ajip Rosidi meluncurkan buku antologi Puisi Pupujian. Hasil penelitian Tini Kartini
dkk. berjudul Puisi Pupujian dalam Bahasa
Sunda terbit tahun 1986. Dengan diberi judul nadoman R. Hidayat Suryalaga menulis ribuan sa’ir yang menjadi pelengkap saritilawah Al-Qur’an dalam bentuk pupuh yang telah terbit terlebih dahulu.
Sa’ir-sa’ir karya R. Hidayat Suryalaga yang telah terbit di antaranya Nadoman Nurul Hikmah Daras 1 (2003), Nadoman Nurul Hikmah Daras 1, 2,3 (2003),
Nadoman Nurul Hikmah Daras 30 (2004),
dan Nadoman Nurul Hikmah Daras 4, 5 (2006).
Puisi pupuh juga masih hidup. Ajip Rosidi menerbitkan
antologi Guguritan dan Wawacan (2011) sebagai bagian dari Puisi
Sunda. Dyah Padmini menulis kumpulan puisi Jaladri
Tingtrim: Kumpulan Dangding (2000) dan mendapat hadiah Rancage. R. Hidayat
Suryalaga menerbitkan buku Nur Hidayah:
Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an winangun Pupuh (2000). Sisindiran atau dalam sastra Melayu juga
masih ditulis. Setidaknya ada dua buku yang terbit pada tahun 2011 yaitu Sisindiran jeung Wawangsalan Anyar
(2011) karya Dedy Windyagiri dan Sisindiran
(2011) karya Adang S.
Puisi tembang dan kawih juga masih hidup dan terus diciptakan. Tembang Sunda
Cianjuran dan lagu-lagu pop Sunda masih diminati. Selalu ada penerus dalam
kedua puisi tersebut.
Gending karesmén yang agak langka. Karena bentuk puisi ini terikat dengan
pementasannya. Pementasan gending karesmén
ini sangat langka karena membutuhkan kemampuan seni suara, musik, dan seni
peran. Namun bukannya tidak ada.
Yang paling banyak
ditulis dan dipublikasikan tentu saja adalah sajak. Sejak kemunculannya di
tahun 50-an sajak Sunda sudah lebih dari 40 buku yang terbit dan Ajip Rosidi dalam
buku Sajak Sunda (200) mencatat tidak
kurang dari 130 penyair. Tentu tidak semua penyair tercatat dalam buku
tersebut. Umumnya sajak-sajak yang dimuat dalam antologi tersebut, terlebih
dahulu dimuat di media massa cetak berbahasa Sunda baik koran atau majalah.
Media yang kini masih memuat puisi-puisi Sunda tersebut di antaranya Manglé, Galura. Cupumanik, Ujung Galuh, dan Sunda Midang.
Sejak kemunculan para
pionir sajak Sunda selanjutnya selalu diikuti dengan kemunculan penyair
berikutnya. Setelah generasi KTS dan Kis Ws, Sayudi dan Ajip Rosidi, muncul
generasi Rachmat M. Sas Karana, Abdullah Mustappa, Godi Suwarna, Etti R.S, Acep
Zamzam Noor, Hadi AKS, Chye Retty Isnendes, Nunu Nazaruddin Azhar, Deni Ahmad
Fajar, Dian Hendrayana, Dede Syafrudin, Eris Risnandar, hingga penyair Ari
Andriansah.
Selain adanya media
tempat pemuatan, yang memungkinkan sajak Sunda berkembang ialah karena adanya
lembaga baik negeri maupun swasta dan perseorangan yang memberi dukungan kepada
pertumbuhan puisi Sunda.
Bagi penyair sastra
Sunda yang mujur bisa saja ia memperoleh hadiah berkali-kali. Misalnya ia mendapatkan
hadiah untuk sajaknya yang diikutkan dalam perlombaan. Ketika sajak itu dimuat
dalam majalah Manglé bisa saja sajaknya
mendapat hadiah bulanan. Dan bisa saja sajak tersebut mendapat pula hadiah dari
LBSS yang dibetikan setiap tahun. Jika sajak-sajak ibukukan, mungkin saja ia
mendapat Hadian Sastra Rancagé.
Pamungkas
Dalam sastra Sunda, yang dimaksud dengan puisi tidaklah
tunggal, tetapi jamak. Puisi Sunda mencakup bentuk-bentuk puisi naskah, jangjawokan, pantun, sisindiran,
pupujian, sawér, guguritan, wawacan, gending karesmén, tembang, kawih, sajak,
dan drama berbentuk sajak.
Menurut perkiraan puisi Sunda tertua adalah puisi lisan,
dengan asumsi bahwa keberadaan bahasa dan sastra lisan mendahului bahasa dan
sastra tulis. Akan tetapi, data yang ada menunjukkan bahwa puisi lisan tersebut
pada umumnya baru ditulis pada awal abad ke-20. Oleh karena itu, tonggak awal
puisi Sunda dirujuk pada naskah yang terbit pada abad 15.
Melihat bentuk-bentuk puisi Sunda kita melihat
pertautannya dengan pengaruh sastra yang lain. Puisi-puisi yang ditulis dalam
naskah memperlihatkan kuatnya pengaruh Hindu-Budha dan kebudayaan India, yaitu
bentuk puisi anusbut atau delapan suku kata. Pupujian dan sawer memperlihatkan
kuatnya pengaruh sastra Arab terutama. Dalam guguruitan, wawacan, tembang pengaruh Jawa cukup kuat. Dan
dalam puisi sajak pengaruh sastra
Indonesia dan Barat juga kuat. Dengan demikian membaca puisi Sunda juga sekaligus
membaca jejak puisi dunia.
Bentuk-bentuk puisi Sunda itu masih hidup dan terus
dihidupkan. Puisi-puisi dalam naskah
kuno masih terus dibaca oleh para sarjana sastra Sunda, pupujian masih terdengar dari corong pengeras suara mesjid, kawih dan tembang masih didendangkan, sajak
Sunda masih ditulis, dibacakan, dilombakan dan diterbitkan. Semua itu tidak
terlepas dari keberadaan lembaga pendidikan, penelitian, sanggar, dan
masyarakat sastra yang memiliki kecintaan dan dedikasi yang tinggi terhadap
perkembangan puisi Sunda.
Masih banyak yang belum dibicarakan dalam tulisan ini,
namun sebagai pengantar diskusi saya cukupkan sekian.
Daftar Pustaka
Darsa, Undang Ahmad. 2011. Kodekologi Sunda: Sebuah Dinamika
Identifikasi dan Inventerisasi Tradisi Pernaskahan. Bandung.
----------------------------.
2012. “Séwaka Darma dalam Naskah
Tradisi Sunda Kuno Abad XV-XVII Masehi”. Disertasi. Bandung: Program
Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
Iskandarwassid. 1992. Kamus Istilah Sastra: Pangdeudeul Pangajaran
Sastra Sunda. Bandung: Geger Sunten.
Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, Tien
Wartini dan Undang Ahmad Darsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2007. Sajak
Sunda: Puisi Sunda Jilid III. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Sastrawijaya, Maryati. 1995. “Aneka Puisi Sunda” dalam
Edi S. Ekadjati, Ade Kosmaya dan Wilson Nadeak. Nusa, Bangsa dan Bahasa. Bandung: Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran dan Yayasan Pustaka Wina. Hlm. 45-55.
Disampaikan dalam Seminar
Internasional dan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN)-VI Jambi 2012 dan dimuat dalam buku Mengangkat Batang Terendam (Dewan Kesenian Jambi, 2012).
Komentar
Posting Komentar