Sajak, Sayudi, Sunda


`          
Téddi Muhtadin
Abstrak
Dalam perkembangan sajak Sunda nama Sayudi tidak bisa diabaikan. Ia bukan orang pertama yang menulis sajak, tetapi dialah yang mampuh menulis sajak Sunda dengan sangat baik dan berhasil mengumpulkannya dalam sebuah buku berjudul Lalaki di Tegal Pati (1966). Keberhasilan Sayudi dalam penulisan sajak Sunda terletak pada dua hal, yakni (1) penguasaan yang mendalam atas kekayaan puisi Sunda dan (2) kepekaan menangkap pensoalan zamannya.Berbeda dengan Chairil Anwar yang penulis sajak Indonesia dengan keterputusan, Sayudi justru menulis dengan keterhubungan  yang jelas pada tradisi sebelumnya. Sayudi berpengaruh besar pada trasidi penulisan sajak Sunda berikutnya. Dengan cara seperti ini Sayudi dianggap bagian dari para pejuang renaisans kepribadian Sunda.

Purwacarita
Berkaitan dengan dinamika persajakan Sunda sejak tahun 1950-an, Sayudi adalah sebuah nama yang tak mungkin diabaikan. Meskipun ia bukan orang yang pertama menulis sajak dalam bahasa Sunda, tetapi ia adalah orang yang paling berhasil menulis sajak Sunda. Dia pula yang pertama kali memiliki kumpulan sajak, yakni Lalaki di Tegal Pati ‘Lelaki di Medan Perang’ (1966).
Karya-karya Sayudi seolah menjadi jalan keluar dari polemik berkepanjangan tentang eksistensi sajak Sunda. Dengan begitu, perdebatan apa pun mengenai hak hidup sajak Sunda menjadi kurang bermakna tanpa menyentuh sajak-sajak Sayudi. Perlu diinformasikan bahwa pada tahun 1950-an telah terjadi polemik yang berkaitan dengan sajak Sunda. Pertama, berlangsung di Majalah Sipatahoenan pada awal tahun 1950-an, kedua terjadi pada majalah Warga pada tahun pertengahan tahun 1950-an. Sayudi sendiri tidak melibatkan diri dalam polemik itu, tetapi berfokus menulis sajak.
Dalam salah satu tulisannya Ajip Rosidi (1966: 98) pernah bertanya mengapa masuknya sajak diperdebatkan, padahal ketika genre novel dan cerita pendek diperkenalkan khalayak pembaca sastra Sunda mereka cenderung menerimanya begitu saja. Padahal, jika diperhatikan bentuk sajak lebih dekat dengan khasanah puisi Sunda, dibandingkan dengan novel dan cerita pendek yang jelas-jelas merupakan hal yang baru. Novel pertama berbahasa Sunda terbit tahun 1914 berjudul Baruang ka nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata dan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda terbit pertama kali tahun 1930, berjudul Dogdog Pangréwong karya G.S.Keduanya diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Menurut hemat saya, perdebatan itu bukan semata-mata karena sajaknya semata, tetapi karena konteks sosial politik yang berkembang saat itu. Pada dedake 1950-an terjadi ketegangan antara daerah dan negara (van Bemmelen dan Raben, 2011). Tak terkecuali di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Dalam situasi seperti itu, hal-hal yang berkaitan dengan identitas kedaerahan atau etnisitas kembali tumbuh dengan subur. Apa yang membedakan aku dengan kamu? Bagaimana aku dan kamu hidup dalam negara kita? Dalam konteks sastra orang Sunda bertanya pula, apakah sajak itu asli atau pengaruh dari sastra lain? Genre-genre sastra apa saja yang benar-benar warisan leluhur dan mana yang bukan?

Latar dan Karya Sayudi
Sayudi lahir di Bandung tahun 1932 dan meninggal di Bandung tahun 2000 (Rosidi ed, 2000: 582). Ia lulusan Konservatori Karawitan, Jurusan Sunda. Namun, walaupun berrijazah guru karawitan, ia tidak menjadi guru. Ia bekerja di Kantor Pos Besar Bandung hingga pensiun.
Seperti banyak pengarang Sunda lainnya, pada awalnya Sayudi menulis sajak dan cerpen dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan di majalah Kisah, Indonesia, dan Puspa Wanita. Tetapi, dalam bahasa Indonesia akhirnya ia hanya menulis artikel, cerita anak, dan naskah oratorium. Adapun sajak ditulis dalam bahasa Sunda.
Selain menulis, Sayudi aktif di BPB (Beungkeutan Pangulik Budaya ‘Ikatan Peneliti Budaya’) Kiwari dan Yayasan Kebudayaan Indonesia di Bandung. Pernah membantu Proyek Penelitian Pantun & Folklor Sunda yang dipimpin Ajip Rosidi, yaitu dalam mentranskripsi cerita pantun Sunda.
Karya Sayudi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku di antaranya Lalaki di Tegal Pati (1963), Kisah Situ Bagendit (1976), Madraji: Carita Pantun Modérn (1983), Lutung Kasarung (1983), dan Oratorium Bandung Lautan Api (1985).
Sebenarnya Sayudi dibesarkan dalam lingkungan tulis-menulis. Kakaknya yang bernama Sahuri adalah penulis buku kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda, Jakarta Kuring ‘Jakartaku’ dan kakaknya yang lain, Sanaya, adalah penulis esai yang cukup berhasil.
Menurut informasi dari Abdullah Mustappa, Sayudi sudah membaca buku Madilog karya Tan Malaka pada waktu duduk di bangku SMP (Muhtadin, ed, 2000). Hal ini, menurut Abdullah Mustappa menyebabkan analisis dalam esai-esai Sayudi mengenai masalah sosial cukup tajam. 
Atas jasa-jasanya untuk sastra Sunda, Sayudi akhirnya mendapat hadiah sastra Rancagé untuk bidang jasa pada tahun 1994.

Pencapaian dan Pengakuan
Meskipun banyak genre sastra yang ditulis Sayudi, namun yang paling menonjol adalah kecakapannya dalam menulis sajak. Dalam sebuah pengantar untuk buku Madraji: Carita Pantun Modern, yang sebenarnya lebih menyerupai endorsment, Buyung Saleh Puradisastra menulis:
“Teu deuk ngawadul atawa ngarahul, mun dibandingkeun jeung Chairil Anwar, tétéla Sayudi leuwih unggul. Ari anu jadi sabab lantaran Chairil mah ngawakilan méstigo-isme, sanggeus ninggalkeun warisan Malayu jeung Minangkabau téh jadi lieuk euweuh ragap taya. Ari keur Ki Sayudi mah béda deui, sabab keur manéhna mah tradisi Sunda téh can ucul, masih kénéh mangrupa rajakaya jiwana, anu terapna ngalemah pageuh teu kaendagkeun ku pangbibita deungeun.  Ku sabab kitu, puisi-puisi Ki Sayudi mangrupa hiji pangwangun anyar (reshaping) titinggal karuhun. Ieu téh kacida pentingna, sabab kabudayaan disawang tina jihad karohanian mah mangrupa prosés anu sambung-sinambung henteu pegat-pegat. (Puradisastra, 1983: 6).
                                                                                      
“Bukan omong kosong atau bohong, jika dibandingkan dengan Chairil Anwar, Sayudi ternyata lebih unggul. Sebab, Chairil mewakili mestizoisme: setelah meninggalkan warisan Melayu dan Minangkabau ia tak memiliki apa-apa lagi. Berbeda dengan Sayudi: baginya tradisi Sunda belum berkurang, masih berupa kekayaan jiwa yang teguh membumi, tidak tergoyahkan oleh bujuk rayu orang lain. Oleh karena itu, puisi-puisi Sayudi merupakan satu pembaruan (reshaping) dari peninggalan leluhur. Ini sangat penting, sebab kebudayaan dilihat dari sudut pandang kerohanian merupakan proses yang bersinambung tidak terputus.”

Menurut Ajip Rosidi (1986) dalam sajak “Lalaki di Tegal Pati”, Sayudi mampu menghidupkan kembali jiwa Sunda yang tidak takut mati, tidak pernah sayang kepada nyawa dalam membela kebenaran dan martabat manusia. Sajak-sajak Sayudi,  menurut Ajip Rosidi, memperlihatkan keberanian, tetapi sadar diri, mencintai berlangsungnya hidup manusia yang penuh kemanusiaan.
Wing Karjo (1983: 6), salah seorang penyair terkemuka dalam sastra Indonesia, mengatakan bahwa Sayudi adalah penyair yang berpegang teguh kepada tradisi (Sunda). Sebagai penyair yang matang, menurut Wing, teknik persajakan Sayudi sudah tidak merupakan masalah baginya. Oleh karena itu, dapat dikatakan Sayudi seorang penyair klasik.
Dalam kaitannya dengan Madraji Rukasah S.W. mengatakan bahwa puisi panjang seperti itu merupakan hal yang baru (1983: 5). Menurut Rukasah, walaupun Madraji bersandar pada sastra lisan pantun, tetapi berbeda dengan pantun. Dan, meskipun ditulis dalam bentuk puisi yang umumnya delapan suku kata, Madraji berbeda dengan wawacan. Perbedaan yang paling menonjol, menurut Rukasah, terletak pada pilihan kata. Dalam Madraji tidak ditemukan kata-kata yang tidak perlu seperti dalam wawacan, karena adanya aturan guru lagu (bunyi vokal akhir) dan guru wilangan (jumlah suku kata dalam satu larik). Adapun perbedaan Madraji dengan pantun tampak dalam watak pelakunya yang tidak bersifat karikatural. Dengan begitu nampak sekali bahwa Madraji merupakan revolusi dalam karya sastra Sunda, yang embrionya sudak terlihat dalam Lalaki di Tegal Pati.
Selain itu, Rukasah (1983:5) juga mengatakan bahwa Madraji merupakan khas puisi Sunda seperti yang sering ditemukan dalam cerita pantun. Menurut Rukasah, cerita tersebut sangat kaya dengan asonansi, homoioteleuton, dan aliterasi. Dan, mengenai bahasa yang digunakannya, Rukasah mengatakan, tidak ada bandingannya. Selain kata-kata yang sesuai, Sayudi dapat membangun kombinasi-kombinasi kata yang plastis dan puitis humoristis. Pengetahuan Sayudi mengenai ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemasyarakatan tampak dalam membangun watak-watak pelakunya. Oleh karena itu, Rukasah tidak ragu menganggap Madraji sebagai salah satu hasil karya sastra utama, master piece, dalam sastra Sunda.
Baik Buyung Saleh, Ajip Rosidi, Wing Karjo, maupun Rukasah SW sepakat bahwa sajak-sajak yang ditulis Sayudi merupakan tonggak puisi baru yang merupakan kelanjutan dari tradisi puisi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan sajak-sajak Indonesia seperti tampak dalam karya Chairil Anwar. Sebenarnya, perbedaan antara sajak Sunda dengan sajak Indonesia ini merupakan salah satu perwujudan dari konsep tentang Sunda dan Indonesia itu sendiri. Bagaimanapun, Sunda kini adalah kelanjutan dari Sunda masa lalu, namun tidak demikian dengan Indonesia. Dalam salah satu tulisannya dalam rubrik Catatan Pinggir Goenawan menulis:
“Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang dibentuk oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, “patahan”, bukan kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecenderungan menampilkan “baru” – yang patah arang dengan yang “lama” – seakan-akan sebuah bagian dari drama perbenturan.” (Mohamad, 2011: 146).

Bentuk delapan suku kata dalam larik-larik sajak Sayudi memang berakar kuat dalam tradisi Sunda. Bukan hanya pada puisi tradisional Sunda seperti sisindiran, jangjawokan,  atau pantun; bentuk delapan suku kata pun dapat dilihat pertaliannya dengan tiga puisi Sunda kuna, yaitu “Para Putera Rama jeung Rawana”, “Sri Ajnyana”, dan “Bujangga Manik” yang ditulis pada abad ke-16 (Noorduyn-Teeuw, 2009).

Menyiasati Medan Pertarungan
Seperti sudah disampaikan pada awal tulisan, sajak-sajak Sayudi muncul ketika terjadi polemik sajak Sunda. Polemik sajak tersebut akan dapat dibaca secara lebih baik jika ditempatkan dalam konteks sosial politik yang terjadi pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1950-an tanah Sunda menjadi medan pertarungan ideologi, politik, dan kekuasaan (Muhtadin 2007: 97-98). Contoh yang signifikan adalah konflik yang berkepanjangan antara pemerintah Republik Indonesia dengan DI/TII dan perubahan politik dari negara RIS menjadi negara kesatuan RI. Kedua konflik ini berdampak besar pada kehidupan masyarakat Sunda. Konflik antara pemerintah RI dan DI/TII berakibat buruk pada kehidupan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Perubahan politik dari RIS menjadi negara kesatuan mengakibatkan tersingkirnya sebagian besar elit Sunda yang duduk sebagai pejabat negara.
Berkaitan dengan hal ini, Ajip Rosidi menulis:
“Mémang kungsi aya mangsana urang Sunda ngarasa henteu sugema ku ayana kawijakan “ko” jeung “non” pamaréntah anu nyababkeun réa urang Sunda anu kapabel nyekel kalungguhan di Pamaréntahan Jawa Barat digésér ku sabab dianggap “ko”, diganti ku nu henteu kapabel tapi anyar datang ti Yogya nu dianggap “non” – anu réréana urang Jawa. Kana ayana kawijakan pamaréntah anu maliding sanak, timbul gerakan kasundaan dina taun 1950-an nu puncakna ngayakeun Kongrés Pamuda Sunda.” (Rosidi, 2010: 28-29).

“Memang pernah ada masanya orang Sunda merasa tidak sugema dengan adanya kebijakan “ko” dan “non” dari pemerintah yang menyebabkan banyak orang Sunda yang kapabel memegang jabatan di Pemerintahan Jawa Barat digeser karena dianggap “ko”, diganti oleh orang yang tidak kapabel tetapi baru datang dari Yogya yang dianggap “non” – yang kebanyakan orang Jawa. Terhadap adanya kebijakan pemerintah yang maliding sanak, timbul gerakan kesundaan pada taun 1950-an yang puncaknya mengadakan Kongres Pemuda Sunda.”

Dalam bidang sosial politik muncul Gerpis (Gerakan Pilihan Sunda), Daya Sunda, FPS (Front Pamuda Sunda), dan BMS (Badan Musyawarah Sunda). Dalam bidang kebudayaan timbul kegiatan-kegiatan kebudayaan, di antaranya, Simposium Bahasa Sunda (1954), Kongres Bahasa Sunda (1956), Simposium Sastra Sunda (1955) dan Kongres Pemuda Sunda (1956). Dalam bidang pendidikan lahir Universitas Padjadjaran Bandung (1959) yang diharapkan mampu mendidik orang Sunda.
Selain itu, pada tahun 1950-an kita menyaksikan pula terbitnya majalah dan surat kabar, di antaranya: Lingga (1950), Warga (Bogor, 1951), Sunda (Bandung, 1952), Budaja (Bandung,1952), Candra (Bogor, 1954), Panghegar (Bandung, 1955), Kudjang (Bandung, 1956), Manglé (Bogor, 1957), Kiwari (Jakarta, 1957), Simpaj (Jakarta, 1957), dan Kalawarta Lembaga Basa djeung Sastra Sunda (Bandung, 1957).
Masalah yang timbul pada tahun 1950-an dan berhasil memikat perhatian banyak penulis adalah perdebatan atau polemik mengenai sajak Sunda. Polemik yang pertama, menurut perkiraan Ajip Rosidi (2007: 7), terjadi sekitar tahun 1950 dalam surat kabar Sipatahoenan. Polemik ini terjadi karena seorang pengarang yang berada di balik nama Ki Sunda menganggap bahwa puisi Sunda yang harus dipelihara sebagai warisan leluhur adalah dangding, bukan sajak. Tulisan ini mendapatkan reaksi baik dari para penulis yang setuju maupun yang tidak setuju.
Polemik yang kedua terjadi pada tahun 1955 dalam majalah Warga. Polemik ini dimulai oleh tulisan Wahyu Wibisana yang berjudul “Sadjak Sunda”. Tulisan ini muncul dalam rubrik Arena Pena majalah Warga tahun 1955. Dalam tulisan tersebut Wahyu Wibisana (1955: 17-19) mengemukakan arti penting sajak bagi perkembangan sastra Sunda. Meskipun sajak memiliki ukuran yang pendek dan mengandung teka-teki seperti sisindiran ‘pantun’ atau wawangsalan, tetapi memiliki arti atau makna yang lebih luas. Wahyu memberi contoh sajak tentang Byron. Ia bukan orang Sunda, tetapi sifat-sifat yang digambarkan dalam sajak tersebut dapat menimpa manusia Sunda.
Bagi Wahyu, sajak adalah tantangan sekaligus merupakan jalan menuju sastra dunia. Menurutnya, para pengarang Sunda tidak usah merasa puas dengan karya-karya yang sudah ada. Para pengarang Sunda harus bersaing dengan para pengarang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat ekspresinya. Di akhir tulisannya Wahyu Wibisana mengajak para pengarang Sunda untuk memulai langkah tersebut.
... nu nulis tjumeluk ka para kanca, haju urang neangan hasil sastra nu gede pangadjina dina wangunan sadjak.
Dunja teu heureut djeung teu ngariut, ulah ngagugulung nu geus aja bae, tapi kudu mencar-motekar dina harti nu leuwih lega.
Kasusastran Sunda ulah eleh ku kasusastran Indonesia, sing eling jen kabudajaan Sunda baheula saluhureun kabudajaan urang Malaju. Geura hudang, geura hudang, tuh geus beurang!
Haju urang naratas djalan nudju kana kasusastran dunja...! (Wibisana, 1955: 19).

... penulis mengajak kepada kawan-kawan, mari kita mencari hasil sastra yang besar nilainya dalam bentuk sajak.
Dunia tidak sempit dan tidak mengecil, jangan terpaku pada hasil yang sudah ada, tetapi harus aktif-kreatif dalam arti yang lebih luas.
Kesusastran Sunda jangan kalah oleh kesusastran Indonesia, sadarlah bahwa kebudayaan Sunda dahulu lebih tinggi daripada kebudayaan orang Melayu. Bangunlah, bangunlah, hari sudah siang!
Mari kita membuka jalan menuju ke kesusastran dunia...!

Tulisan Wahyu Wibisana di atas segera disambut oleh tulisan R. Juju Yuliaty dalam Warga no.134, 20 Mei 1955. Dalam tulisan berjudul “Panjandra Sadjak Sdr. Wahyu Wibisana” (Kritik Sajak Sdr. Wahyu Wibisana), Yuliaty melontarkan kritik kepada Wahyu Wibisana. Bagi Yuliaty sajak adalah suatu yang sulit dimengerti dan hanya diperhatikan oleh segelintir orang saja. Daripada memperhatikan keberadaan sajak yang seperti itu lebih baik kembali kepada khazanah kekayaan sastra Sunda yang asli. Jika Wahyu mengajak para sastrawan pergi keluar, Juju Yuliaty justru mengajaknya kembali pulang.

... kuring ngadjak ka Saderek, haju urang balik deui ka ka-Sundaan! Pasundan masih nganti putrana nu katalimbeng neangan pangbalikan.
Ku saha deui kasenian Sunda asli teh dimumulena, iwal ti ku urang Sunda mah?
Sunda djaja! Sunda djaja! Masing tanpa sadjak oge, tinangtu bakal nandjung!

... aku mengajak Saudara, mari kita kembali lagi kepada ke-Sundaan! Pasundan masih menanti putranya yang bingung mencari tempat kembali.
Siapa lagi yang akan memelihara kesenian Sunda asli ini, jika bukan orang Sunda?
Sunda jaya! Sunda jaya! Tanpa sajak pun, pasti beruntung!

 Setelah kedua tulisan Wahyu Wibisana dan Juju Yuliaty di atas, tulisan mereka hadir silih berganti pada majalah Warga. Baik Wahyu maupun Juju memegang teguh argumentasinya masing-masing. Wahyu mempertahankan eksistensi sajak, sedangkan Juju mempertahankan dangding. Polemik kedua pengarang ini menyebabkan para penulis lain ikut turut campur. Dan, polemik ini bukan hanya terjadi pada majalah Warga, tetapi berlangsung di media berbahasa Sunda lainnya, seperti Sipatahoenan. Sebagian membela Wahyu, sebagian lainnya membela Juju, tetapi ada pula yang berada di garis tengah.
Ada banyak nama yang terlibat dalam perbincangan sajak Sunda, baik yang secara langsung berkaitan dengan polemik maupun yang tidak, di antaranya adalah B.A.S, Djunaedi A., E. Permana, E. Tarmidi, K.T.S., Ki Sunda, Kusnadi Ps., Werdaja, Mh. Enoch, Much. Hamid, Pa Etjep, R. Atmamihardja, R. Juju Yuliaty, R.A. Affandi, R.E. Soelaeman, Rukasah S.W., Surachman Radea M., Sut Tisna, Suwondo, Wahyu Wibisana, dan Z. Abudin Alamsjah.
Menanggapi hal tersebut Ajip Rosidi (1966: 58) menyatakan bahwa dalam polemik-polemik seperti itu yang terjadi adalah bentrokan antara chauvinisme sempit berupa pemujaan terhadap peninggalan leluhur sendiri secara berlebih-lebihan dan tanpa pengertian, dengan semangat muda yang berkobar-kobar dan kepercayaan terhadap kemampuan diri-sendiri yang amat besar.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, Sayudi tidak melibatkan diri dalam polemik sajak Sunda, namun secara serius menulis sajak, yang akhirnya berhasil menjawab polemik dengan karya-karyanya.
Dengan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam buku Lalaki di Tegal Pati, terutama dengan sajaknya yang berjudul “Lalaki di Tegal Pati” Sayudi sekaligus mampu menjawab dua persoalan yang hidup pada saat itu, yaitu persoalan politik dan persoalan sastra, khususnya berkaitan dengan eksistensi sajak dalam ranah sastra Sunda.
Persoalan ketersingkiran para pemimpin Sunda setelah adanya kebijakan “non” dan “ko”, yaitu nonkoperatif dan koperatif dengan pihak Belanda, dianalogikan Sayudi dengan cerita lama yang sangat sensitif tentang raja Sunda yang dikhianati Gajah Mada dalam Perang Bubat sebagai lalaki di tegal pati (lelaki di medan tempur). Persoalan asli/tidak asli puisi Sunda dijawab Sayudi dengan mendayagunakan puisi-puisi delapan suku kata dan metafor-metafor yang orisial.
Keberhasilan ini diapresiasi Ajip Rosidi dengan menempatkan Sayudi dalam kolom pengarang Zaman Kiwari yang mampu mambangunkan kembali jiwa besar Sunda. Sejak itu, posisi Sayudi terpasak dalam khazanah sastra Sunda. Oleh kritikus Ajip Rosidi pula, Sayudi disejajarkan dengan pengarang Surachman R.M., Rusman Sutiasumarga, Ki Umbara, Yus Rusamsi, Wahyu Wibisana, Yus Rusyana, Rachmat M Sas Karana, dan Ayatrohaedi.

Simpulan
Dari uraian di atas dapat dicatat dua hal. Pertama, dengan sajak-sajaknya Sayudi adalah pembaru puisi Sunda. Sajak Sunda modern yang ditulis Sayudi merupakan kelanjutan dari tradisi puisi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan Chairil Anwar yang menulis sajak Indonesia dengan cara memutuskannya dari tradisi puisi yang ada sebelumnya. Kedua, mampu mengangkat persoalan politik tahun 1950-an dengan mengangkat cerita tentang Perang Bubat dengan penafsiran yang kreatif dan produktif. Dengan kedua upaya ini Sayudi dianggap mampu membangunkan kembali jiwa besar Sunda atau renaisans kepribadian Sunda.
Pengaruh Sayudi dalam persajakan Sunda cukup mendalam. Dalam karya-karya Godi Suwarna, yang merupakan tonggak lainnya dalam sajak Sunda, upaya yang dilakukan Sayudi ini masih cukup kentara. Pola oktasilabi dan problemtika sosial politik sosial masyarakat Sunda masih mengental dalam sajak-sajak Godi Suwarna.


Daftar Pustaka

Karjo, Wing. 1983. “Panganteur” dalam Madraji: Carita Pantun Modern. Bandung: Medal Agung. Hlm. 6.
Mohamad, Goenawan. “Perindu” dalam Tempo 19 Juni 2011. Hlm. 146.
Muhtadin, Teddi, ed. 2000. “Sayudi: Unik, Kumplit jeung Teu Jejerih”. Inskripsi talk show “Mendak Sayudi: Naon nu Kapendak”. Fakultas Sastra Unpad. Jatinangor. 10 Mei 2000.
Muhtadin, Teddi. 2007. “Fungsi Kritik Sastra Ajip Rosidi”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Noorduyn, J. dan A. Teeuw 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Puradisastra, Buyung Saleh. 1983. “Panganteur” dalam Madraji: Carita Pantun Modern. Bandung: Medal Agung. Hlm. 5-6.
Rosidi, Ajip. (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastran Sunda Déwasa Ini. Pasuketan, Djatiwangi, Tjirebon: Tjupumanik.
Rosidi, Ajip. 1986. Ngalanglang Kasuastran Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2007. Sajak Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Rosidi, Ajip. 2010. Gerakan Kasundaan. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Rukasah. 1983. “Panganteur” dalam Madraji: Carita Pantun Modern. Bandung: Medal Agung. Hlm. 5.
Sajudi. 1963. Lalaki di Tegal Pati. Bandung: Kiwari.
Sayudi. 1983. Madraji: Carita Pantun Modern. Bandung: Medal Agung.
van Bemmelen, Sita dan Remco Raben. 2011. Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLP-Jakarta.
Wibisana, Wahyu, 1955. “Sadjak Sunda” dalam Warga. No.133, 10 Méi. Hlm 17-19.
Yuliaty, Juju. 1955. “Panjandra Sadjak Sdr. Wahyu Wibisana” No. 134, 20 Méi 1955. Hlm. 25-26.

Komentar

Postingan Populer