Puisi Sunda


Téddi Muhtadin

Sapanjang néangan kidul,
kalér deui kalér deui,
sapanjang néangan wétan,
kulon deui kulon deui,
sapanjang néangan aya,
euweuh deui euweuh deui.

Sepanjang mencari selatan,
hanya utara yang kujumpa,
sepanjang mencari timur,
hanya barat yang kujumpa,
sepanjang mencari ada,
hanya tiada yang kujumpa.

(Haji Hasan Mustapa)

Puisi adalah istilah baru yang digunakan untuk menandai bentuk-bentuk sastra yang sudah terlebih dahulu ada. Istilah puisi baru dikenal dalam khasanah kesusastraan Sunda sekitar awal abad ke-20, yakni saat sarjana-sarjana Belanda mulai meneliti kesusastraan Sunda. Dalam penelitian tersebut, tentu saja, mereka memahami sastra Sunda dengan terminologi sastra Barat. Terminologi sastra Barat itu, di antaranya, membedakan karya sastra berdasarkan puisi, drama dan cerita. Menurut Luxemburg (19), misalnya, puisi pada hakikatnya adalah monolog, drama adalah dialog, dan cerita adalah campuran di antara keduanya. 
Penjelasan lain yang lebih khusus, dalam Kamus Istilah Sastra (1992) yang disusun oleh Iskandarwassid, dikatakan bahwa puisi adalah bentuk karangan yang berirama serta terikat dalam bentuk dan diksinya. Menurut Iskandarwassid puisi biasanya dibedakan dengan kalimat dalam bahasa sehari-hari dan dengan prosa. Dalam kamus tersebut dijelaskan pula bahwa puisi menggunakan bahasa yang khas, yang mencakup pilihan kata, frase, dan perbandingan yang seringkali tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Selanjutnya dijelaskan bahwa puisi mengutamakan konotasi, menciptakan frase baru, irit kata, dan hanya deskripsi, sehingga seringkali samar.
Berdasarkan pengertian puisi tersebut saya berusaha menjawab empat pertanyaan, yaitu (1)  bentuk-bentuk karya sastra Sunda apa sajakah yang biasa dikelompokkan ke dalam puisi? (2) sejak kapan puisi dikenal dalam kesusastraan Sunda? (3) bagaimana pertautan antara puisi Sunda dengan puisi-puisi Nusantara dan dunia? Dan, (4) bagaimana perkembangan puisi Sunda kini?

Bentuk Puisi Sunda
Bentuk puisi Sunda , menurut Iskandarwassid (1992), dapat dibedakan berdasarkan waktu dan narasinya. Berdasarkan waktunya puisi Sunda dibedakan antara puisi lama atau tradisional dengan puisi baru atau modern. Puisi tradisional Sunda kemudian terbagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) puisi berbentuk cerita dan (2) puisi yang tidak berbentuk cerita. Termasuk ke dalam puisi berbentuk cerita adalah pantun dan wawacan. Termasuk ke dalam puisi yang tidak berbentuk cerita ialah mantra (jangjawokan, singlar, jampé, asihan), sisindiran (rarakitan, paparikan, wawangsalan), kakawihan (barudak), dan sa’ir (pupujian, sawér, dst), pupuh (dangding, guguritan). Dan, yang termasuk puisi baru adalah sajak.
Sejalan dengan Iskandarwassid adalah pendapat Maryati Sastrawijaya. Kedua ahli ini membagi puisi Sunda ke dalam dua kelompok yakni puisi tradisional dan puisi modern. Namun, dalam hasil penelitiannya Maryati Sastrawijaya (1995: 45) menemukan bahwa puisi Sunda itu memiliki 18 jenis, yang terdiri atas 12 puisi tradisional dan 6 jenis puisi modern. Termasuk ke dalam jenis puisi tradisional itu ialah mantra, kakawihan barudak, sisindiran, sawér, pantun, gondang, sa’ir, pupujian, wawacan, babad, guguritan, dan wawangsalan. Dan, yang termasuk ke dalam jenis puisi modern ialah sajak, drama puisi, gending karesmén, jemblungan, rumpaka kawih, dan rumpaka tembang cinjuran.
Selain Iskandarwassid dan Maryati Sastrawijaya yang membicarakan puisi Sunda adalah Ajip Rosidi. Termasuk ke dalam puisi Sunda ini, menurut Ajip Rosidi (2007: 5) adalah bentuk-bentuk karya sastra yang terdapat dalam naskah kuno, jangjawokan, pantun, sisindiran, pupujian, sawér, guguritan, wawacan, gending karesmén, tembang, kawih, sajak, dan drama berbentuk sajak.
Menurut hemat saya pengelompokkan bentuk-bentuk puisi yang dilakukan Iskandarwassid lebih mendasar dibandingkan dengan pengelompokkan oleh Maryati Sastrawijaya dan Ajip Rosidi. Akan tetapi, pembagian dari Maryati Sastrawijaya dan Ajip Rosidi juga penting untuk melihat pengembangan kreativitas dari bentuk dasar puisi Sunda. Dibandingan dengan pengelompokkan Iskandarwassid dan Ajip Rosidi, dalam pengelompokkan Maryati Sastrawijaya muncul jenis puisi  gondang, babad, jemblungan. Adapun yang menarik dalam pengelompokkan Ajip Rosidi adalah munculnya puisi yang tercatat dalam naskah Sunda kuno.
Dengan demikian puisi Sunda dapat dilihat dari bentuk dasarnya yaitu naskah, pantun,  mantra, sisindiran, kakawihan, sa’ir, pupuh, dan sajak. Yang dimaksud dengan naskah ialah puisi Sunda seperti yang terdapat di dalam naskah-naskah Sunda kuno. Puisi-puisi tersebut berisi cerita yang ditulis dalam bentuk puisi anusbuth, puisi dengan delapan suku kata pada setiap lariknya. Bentuk puisi dalam naskah Sunda kuno ini dapat dibandingkan dengan bentuk puisi lisan pantun. Baik puisi dalam naskah Sunda kuno maupun pantun disusun dalam pola larik delapan suku kata.
Contoh yang dikutip dari naskah “Para Putera Rama dan Rawana”:
Ongkarana sangtabéan.
Pukulun sembah rahayu.
Aing dék nyaksi ka beurang,
Aing dék nyaksi ka peuting,
candra wulan aditia,
deungeun sanghiang akasa,
kalawan hiang pretiwi,
ka batara Nagaraja,
ka nusia Awak Larang,
ka luhur ka sang Rumuhun,
nusia Larang di manggung.

Mantra merupakan puisi tradisional yang berisi “doa” agar keinginan terlaksana atau terhindar dari marabahaya. Menurut Iskandarwassid (1992) puisi mantra biasanya dibentuk dalam larik-larik yang memerlukan irama dalam melisankannya. Ciri-ciri puisi dalam mantra ini, di antaranya, adalah rima yang kuat dan repetisi. Termasuk ke dalam puisi mantra ini adalah jajampéan, jangwawokan, parancah, singular, dan asihan.
Contoh:
Asihan Si Taruk Gadung
Sasoéh nu matak léwéh
Salambar nu matak édan
Saciwit nu matak ceurik
Nyeungceurikan aing kakasih
Ya hu ya hu ya Allah.

(R. Kartawinata, Golat, Panjalu, 1973)

Sisindiran sama dengan pantun dalam kesusastraan Melayu, yakni bentuk puisi yang dibangun dengan cangkang (sampiran) dan eusi (isi). Jika hubungan antara cangkang dan eusi hanya ditautkan oleh kemiripan rima maka sisindiran tersebut disebut paparikan. Tetapi, jika kata awal pada larik pertama cangkang diulang pada larik pertama eusi dan larik kedua dan seterusnya pada cangkang diulang pada larik kedua dan seterusnya eusi, sisindiran tersebut dinamakan rarakitan. Selain rarakitan dan paparikan dikenal pula wawangsalan yang pertautan antara cangkang dan eusi-nya ditentukan oleh sebuah kata yang mesti ditebak.
Contoh sisindiran:
Saninten buah saninten,
saninten di parapatan.
Hapunten abdi hapunten,
bilih aya kalepatan.

Contoh wawangsalan:

Teu beunang di hurang sawah,
teu beunang dipikameumeut. (simeut)

Sa’ir atau syair dalam bahasa Indonesia adalah bentuk puisi yang berasal dari kesusastraan Arab. Umumnya terdiri atas empat larik dan pada setiap lariknya dibangun dalam delapan suku kata, dan bersajak akhir a-a-a-a.
Contoh sa’ir:
Regepkeun ieu pépéling,
hirup kudu loba éling,
sabab ajal pasti datang,
urang moal bisa mungpang.

Sing inget kana papastén,
hadé goréng urang yakin,
éta kabéh paparinan,
Allah anu hakkul yakin.

Pupuh adalah rakitan puisi (Iskandarwassid, 1992: 115-116) yang terikat dalam aturan-aturan, baik bentuk maupun isinya. Bentuknya terikat pada jumlah larik pada setiap bait dan pada banyaknya suku kata bunyi vokal akhir pada setiap lariknya. Isinya terikat pada karakter pupuh seperti sedih, gembira dsb. Jumlah pupuh yang dikenal dalam sastra Sunda ada 17 yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, jurudemung, durma, gambuh, gurisa, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong. Aturan-aturan pada pupuh berkaitan erat dengan lagunya. Setiap pupuh memiliki lagu yang berbeda dengan pupuh yang lain. Berdasarkan frekuensi pemakaiannya ada yang disebut pupuh/ sekar ageung (besar) dan pupuh/sekar alit (kecil). Disebut pupuh ageung karena sering digunakan, sebaliknya disebut pupuh alit karena jarang digunakan. Empat pupuh yang termasuk sekar ageung yaitu asmarandana, dangdanggula, kinanti dan sinom, sedangkan 13 pupuh sisanya dikategorikan sebagai sekar alit.
Contoh pupuh kinanti:

Sapanjang néangan kidul,
kalér  deui kalér deui,
sapanjang néangan wétan,
kulon deui kulon deui,
sapanjang néangan aya,
euweuh deui euweuh deui.

Sajak ialah bentuk puisi yang tidak terlalu terikat (Iskandarwassid, 1992: 130). Oleh karena itu pada saat kemunculannya pada awal tahun 1950-an sajak biasa disebut sajak bebas. Tentu saja, dikatakan tidak terikat atau bebas di sini jika dibadingkan dengan pupuh yang tingkat keterikatannya lebih kuat. Ketika sajak muncul puisi pupuh sangat dominan. Sebenarnya, menurut Iskandarwassid, sajak pun masih terikat dengan konvensi puisi, misalnya diksi dan rakitan kata-katanya.
Contoh sajak karya Ganjar Kurnia:
 Sora bedil lodong nu ngabeledag
neumbag jajantung
muncratkeun
daki-daki kalaipan
ngabudalkeun cimata mendet
ngabanjiran diri
tilelep – laput
ka tungtung buuk

aleu-aleu sora walilat
kawas ngaléléwé

unggal lebaran
cimata deui
cimata deui

ti lebaran ka lebaran
nyolédat deui
nyolédat deui

kertas kapitrahan
nu diilo dibulak-balik salila ied
belewuk pinuh kokotor

lapar puasa
ditambah ibadah (nu belang betong)
teu ngabual
hutang dosa sataun jeput

sataun deui
jeprut!

Dari bentuk dasar puisi kemudian tercipta bentuk-bentuk puisi yang lebih besar. Misalnya dari pupuh dapat menjadi guguritan atau wawacan. Jika beberapa pupuh bergabung dan membentuk sebuah cerita maka puisi tersebut disebut wawacan. Jika ceritanya merupakan cerita historis maka wawacan tersebut disebut babad. Tetapi, jika hanya satu bentuk pupuh yang digunakan untuk menceritakan sesuatu atau keadaan maka biasanya puisi tersebut disebut guguritan. Puisi pupuh yang indah dalam bentuk guguritan di antaranya ditulis oleh Haji Hasan Mustapa. Puisi pupuh dalam bentuk wawacan di antaranya ditulis oleh R. Suriadiredja dengan judul Wawacan Purnama Alam.
Pupuh dapat pula bergabung dengan sisindiran, drama, atau seni suara. Oleh karena itu, dalam khazanah sastra Sunda dikenal sisindiran pupuh, gending karesmén atau tembang. Bentuk yang lain juga sama. Sajak dapat bergabung dengan drama menjadi drama bersajak. Sa’ir dapat menjadi nadoman atau sawér, dst.

Awal Puisi Sunda
Menurut perkiraan puisi Sunda berawal dari puisi tradisional atau lebih tepatnya puisi lisan seperti sisindiran, kakawihan, atau mantra. Perkiraan ini muncul karena di dalam kenyataan sastra lisan mendahului sastra tulisnya, sebagaimana bahasa lisan mendahului bahasa tulisnya. Akan tetapi, seperti pernah dijelaskan oleh Ajip Rosidi, puisi-puisi lisan tersebut baru dicatat oleh para sarjana Belanda pada awal abad ke-20. Oleh karena itu, Ajip Rosidi menentukan awal puisi Sunda dari eksistensinya di dalam naskah Sunda kuno.
Berkaitan dengan hal ini ada satu buku yang patut dicatat, yaitu buku Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) yang ditulis oleh  J. Noorduyn dan A. Teeuw. Buku tersebut membahas secara filologis tiga puisi dalam naskah sunda kuno yang ditulis pada abad ke-16, yaitu Para Putra Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah.
Selain itu, Undang Ahmad Darsa dalam disertasinya yang berjudul “Sewaka Drama dalam Tradisi Sunda Kuno Abad 15-17” (2012) juga membahas salah satu puisi Sunda kuno yang paling berpengaruh yaitu Séwaka Darma.
Dengan melihat kemunculan awal puisi Sunda dalam naskah-naskah Sunda kuno ini, paling tidak umur puisi Sunda itu hingga sekarang sudah lebih dari lima abad.

Pertautan
Jika kita cermati puisi Sunda seperti yang tersurat di dalam naskah-naskah Sunda kuno maka kita akan melihat pertautan puisi tersebut dengan bentuk sastra yang berasal dari India. Bukan hanya ceritanya yang merupakan terjemahan dari khazanah sastra India, namun bentuk nya pun menggunakan pola delapan suku kata pada setiap lariknya. Bentuk puisi efik ini ini dapat kita bandingkan dengan  puisi pantun. Undang Ahmad Darsa pernah mengatakan bahwa hubungan pantun dengan naskah ini bisa diibaratkan dengan karya sejarahwan dan sineas.
Sisindiran bertaut dengan bentuk-bentuk puisi pantun dalam sastra Nusantara. Sa’ir bertaut dengan sastra Arab. Pupuh bertaut dengan sastra Jawa. Sajak bertaut dengan sajak Indonesia dan dunia pada umumnya.
Dilihat dari sudut pandang ini sastra Sunda bukanlah sastra yang terkucil namun merupakan bagian dari sastra Nusantara bahkan dunia.

Puisi Sunda Kini
Dalam sastra Sunda, bentuk puisi yang satu tidak mengalahkan bentuk puisi yang lain. Bentuk puisi yang satu berjalin berkelindan dengan bentuk puisi yang lain. Akan tetapi, tentu saja, selalu ada bentuk puisi yang menonjol dari bentuk puisi lainnya.  
Puisi-puisi dalam naskah Sunda kuno satu per satu telah dialihaksarakan ke dalam huruf Latin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu menjadikan naskah sunda kuno mulai dapat dipahami isinya. Menurut cacatan Undang Ahmad Darsa (2011: ) ada 14 naskah Sunda kuno berbentuk puisi yang sudah dikerjakan oleh para sarjana, di antaranya, ialah Séwaka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Kawih Paningkes, Jatiraga, Darmajati, dan Sang Hyang Raga Dewata.
Puisi-puisi mantra dan pantun masih diamalkan dalam kehidupan, terutama di desa atau di kampung adat. Di desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Baduy, puisi mantra dan pantun masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Begitu pun di kampung adat lain seperti Ciptagelar, Sirnarasa, Kampung Dukuh atau Kampung Naga. Masyarakat di desa dan kampung-kampung tersebut masih sangat erat berhubungan dengan kehidupan alamnya. Padi yang merupakan makanan pokok dihormati sebagai penjelmaan dari Dewi Sri.
Puisi sa’ir masih terdengar dilantunkan dari corong pengeras suara mesjid di desa-desa. Puisi ini merupakan bgaian dari tradisi pesantren. Tahun 2011 Ajip Rosidi meluncurkan buku antologi Puisi Pupujian. Hasil penelitian Tini Kartini dkk. berjudul Puisi Pupujian dalam Bahasa Sunda terbit tahun 1986. Dengan diberi judul nadoman R. Hidayat Suryalaga menulis ribuan sa’ir yang menjadi pelengkap saritilawah Al-Qur’an dalam bentuk pupuh yang telah terbit terlebih dahulu. Sa’ir-sa’ir karya R. Hidayat Suryalaga yang telah terbit di antaranya Nadoman Nurul Hikmah Daras 1 (2003), Nadoman Nurul Hikmah Daras 1, 2,3 (2003), Nadoman Nurul Hikmah Daras 30 (2004), dan Nadoman Nurul Hikmah Daras 4, 5 (2006).
Puisi pupuh juga masih hidup. Ajip Rosidi menerbitkan antologi Guguritan dan Wawacan (2011) sebagai bagian dari Puisi Sunda. Dyah Padmini menulis kumpulan puisi Jaladri Tingtrim: Kumpulan Dangding (2000) dan mendapat hadiah Rancage. R. Hidayat Suryalaga menerbitkan buku Nur Hidayah: Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an winangun Pupuh (2000). Sisindiran atau dalam sastra Melayu juga masih ditulis. Setidaknya ada dua buku yang terbit pada tahun 2011 yaitu Sisindiran jeung Wawangsalan Anyar (2011) karya Dedy Windyagiri dan Sisindiran (2011) karya Adang S.
Puisi tembang dan kawih juga masih hidup dan terus diciptakan. Tembang Sunda Cianjuran dan lagu-lagu pop Sunda masih diminati. Selalu ada penerus dalam kedua puisi tersebut.
Gending karesmén yang agak langka. Karena bentuk puisi ini terikat dengan pementasannya. Pementasan gending karesmén ini sangat langka karena membutuhkan kemampuan seni suara, musik, dan seni peran. Namun bukannya tidak ada.
Yang paling banyak ditulis dan dipublikasikan tentu saja adalah sajak. Sejak kemunculannya di tahun 50-an sajak Sunda sudah lebih dari 40 buku yang terbit dan Ajip Rosidi dalam buku Sajak Sunda (200) mencatat tidak kurang dari 130 penyair. Tentu tidak semua penyair tercatat dalam buku tersebut. Umumnya sajak-sajak yang dimuat dalam antologi tersebut, terlebih dahulu dimuat di media massa cetak berbahasa Sunda baik koran atau majalah. Media yang kini masih memuat puisi-puisi Sunda tersebut di antaranya Manglé, Galura. Cupumanik, Ujung Galuh, dan Sunda Midang.
Sejak kemunculan para pionir sajak Sunda selanjutnya selalu diikuti dengan kemunculan penyair berikutnya. Setelah generasi KTS dan Kis Ws, Sayudi dan Ajip Rosidi, muncul generasi Rachmat M. Sas Karana, Abdullah Mustappa, Godi Suwarna, Etti R.S, Acep Zamzam Noor, Hadi AKS, Chye Retty Isnendes, Nunu Nazaruddin Azhar, Deni Ahmad Fajar, Dian Hendrayana, Dede Syafrudin, Eris Risnandar, hingga penyair Ari Andriansah.
Selain adanya media tempat pemuatan, yang memungkinkan sajak Sunda berkembang ialah karena adanya lembaga baik negeri maupun swasta dan perseorangan yang memberi dukungan kepada pertumbuhan puisi Sunda.
Bagi penyair sastra Sunda yang mujur bisa saja ia memperoleh hadiah berkali-kali. Misalnya ia mendapatkan hadiah untuk sajaknya yang diikutkan dalam perlombaan. Ketika sajak itu dimuat dalam majalah Manglé bisa saja sajaknya mendapat hadiah bulanan. Dan bisa saja sajak tersebut mendapat pula hadiah dari LBSS yang dibetikan setiap tahun. Jika sajak-sajak ibukukan, mungkin saja ia mendapat Hadian Sastra Rancagé.



Pamungkas
Dalam sastra Sunda, yang dimaksud dengan puisi tidaklah tunggal, tetapi jamak. Puisi Sunda mencakup bentuk-bentuk puisi naskah, jangjawokan, pantun, sisindiran, pupujian, sawér, guguritan, wawacan, gending karesmén, tembang, kawih, sajak, dan drama berbentuk sajak.
Menurut perkiraan puisi Sunda tertua adalah puisi lisan, dengan asumsi bahwa keberadaan bahasa dan sastra lisan mendahului bahasa dan sastra tulis. Akan tetapi, data yang ada menunjukkan bahwa puisi lisan tersebut pada umumnya baru ditulis pada awal abad ke-20. Oleh karena itu, tonggak awal puisi Sunda dirujuk pada naskah yang terbit pada abad 15.
Melihat bentuk-bentuk puisi Sunda kita melihat pertautannya dengan pengaruh sastra yang lain. Puisi-puisi yang ditulis dalam naskah memperlihatkan kuatnya pengaruh Hindu-Budha dan kebudayaan India, yaitu bentuk puisi anusbut atau delapan suku kata. Pupujian dan sawer memperlihatkan kuatnya pengaruh sastra Arab terutama. Dalam guguruitan, wawacan, tembang pengaruh Jawa cukup kuat. Dan dalam puisi sajak pengaruh sastra Indonesia dan Barat juga kuat. Dengan demikian membaca puisi Sunda juga sekaligus membaca jejak puisi dunia.
Bentuk-bentuk puisi Sunda itu masih hidup dan terus dihidupkan. Puisi-puisi dalam naskah kuno masih terus dibaca oleh para sarjana sastra Sunda, pupujian masih terdengar dari corong pengeras suara mesjid, kawih dan tembang masih didendangkan, sajak Sunda masih ditulis, dibacakan, dilombakan dan diterbitkan. Semua itu tidak terlepas dari keberadaan lembaga pendidikan, penelitian, sanggar, dan masyarakat sastra yang memiliki kecintaan dan dedikasi yang tinggi terhadap perkembangan puisi Sunda.
Masih banyak yang belum dibicarakan dalam tulisan ini, namun sebagai pengantar diskusi saya cukupkan sekian.

 







Daftar  Pustaka

Darsa, Undang Ahmad. 2011. Kodekologi Sunda: Sebuah Dinamika Identifikasi dan Inventerisasi Tradisi Pernaskahan. Bandung.
----------------------------. 2012. “Séwaka Darma dalam Naskah Tradisi Sunda Kuno Abad XV-XVII Masehi”. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
Iskandarwassid. 1992. Kamus Istilah Sastra: Pangdeudeul Pangajaran Sastra Sunda. Bandung: Geger Sunten.
Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2007. Sajak Sunda: Puisi Sunda Jilid III. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Sastrawijaya, Maryati. 1995. “Aneka Puisi Sunda” dalam Edi S. Ekadjati, Ade Kosmaya dan Wilson Nadeak. Nusa, Bangsa dan Bahasa. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran dan Yayasan Pustaka Wina. Hlm. 45-55.

Disampaikan dalam Seminar Internasional dan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN)-VI Jambi 2012 dan dimuat dalam buku Mengangkat Batang Terendam (Dewan Kesenian Jambi, 2012). 

Komentar