Prosa Liris dan Puisi Prosais: Catatan Atas Senja di Nusantara
Téddi Muhtadin*
/1/
Dalam Siksa Kandang Karesian, naskah tua yang ditulis dalam aksara Sunda kuna pada 1518 Masehi yakni pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran, (1482-1521 M), istilah “Cina” muncul sebagai perumpamaan orang yang memahami trigeuing: “Ini ma upama janma tandang ka Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di ti(ng)kah Cina, di polah Cina, di kararampesan Cina. Katěmu na cara telu: kanista, madya, utama.” [1] Trigeuing ialah tiga kesadaran memahami etika makan minum, berpakaian dan memerintah. Mereka yang memahami trigeuing dianalogikan dengan seseorang yang pergi ke negeri Cina, lama tinggal di sana, memahami perilakunya, ulahnya dan keberesannya, serta memahami bahasanya baik yang rendah, sedang maupun tinggi.
Istilah “Cina” dalam naskah tersebut sama sekali tidak memiliki konotasi negatif. Malah sebaliknya, memiliki arti positif. Memang, sebagaimana dikemukakan Leo Suryadinata[2] sampai akhir abad ke-19 istilah ini tidak diangggap sebagai penghinaan. Di dunia Melayu atau mereka yang berbahasa Melayu, menurut Leo, istilah “Cina” merujuk kepada Tiongkok dan orang Tionghoa di Malaya dan Hindia Belanda. Istilah “Tionghoa” mulai populer seiring dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Jawa pada dekade kedua abad ke-20. Munculnya istilah ini merupakan ekspresi ketidakpuasan orang-orang Tionghoa yang dijadikan sebagai penduduk kelas dua oleh Pemerintah Kolonial. Mereka menganggap bahwa istilah “Cina” merupakan penghinaan. Sejak masa pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka, pemakaian istilah “Tionghoa” sudah menjadi baku.
Akan tetapi, seiring dengan perubahan kontelasi politik, istilah “Tionghoa” dipaksa lagi diganti dengan istilah “Cina” yang memiliki makna penghinaan. Dalam sebuah keputusan Seminar Angkatan Darat pada tanggal 25-31 Agustus 1966 di Bandung, disebutkan bahwa dasar pengembalian istilah “Cina” dimaksudkan “... terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknya menghilangkan rasa superior pada golongan yang bersangkutan di dalam Negara kita....”[3] Sejak saat itu dan sepanjang masa Orba bukan hanya istilah “Tionghoa” yang dilarang, tetapi juga pemakaian bahasanya.
Kini, sesudah lima tahun Soeharto lengser dan kekuatan Orba berangsur surut, ada banyak orang yang terbungkam mulai membuka mulut. Dalam konteks ini, buku Senja di Nusantara (SdN) karya Soeria Disastra, paling tidak, mengekspresikan pengalaman bagaimana subjek-subjeknya “di-Cina-kan” dan “di-Tionghoa-kan”. Dengan demikian, dorongan terbesar yang memunculkan karya-karya dalam SdN adalah politik. Artinya bahwa subjek-subjek dalam SdN mengalami masalah mengenai kedudukannya dalam struktur masyarakat yang diciptakan oleh manusia.[4] Maka, tidak mengherankan jika tema-tema seperti kemerdekaan, keadilan, perbedaan, kebaikan, kesetiaan atau kebalikannya sering kali muncul di dalamnya.
Dalam menghadapi persoalan politik ini Soeria Disastra memiliki pandangan yang relatif utuh, seperti nampak dari istilah-istilah yang secara konsisten digunakannya. Ia secara sadar memilih istilah “Tionghoa” bukan “Cina”, “anak bangsa” bukan “etnik”, lebih percaya kepada “kebudayaan” atau “kesenian” bukan kepada “ekonomi” atau “politik”, dan ia pun menyebut dirinya “Soeria Disastra” bukan “Xin Yue”. Jika istilah “Cina” mengandung penghinaan maka istilah “Tionghoa” mengandung penghormatan, jika “suku bangsa” masih berupa tesis-tesis yang terberai maka “anak bangsa” mengandung makna sintesa, jika “politik” dan “ekonomi” sering kali memecah belah maka “kebudayaan” atau “kesenian” mengumpulkan dan malah menjadi alat silaturahmi, jika “Xin Yue” mengandung beban asal-usul maka “Soeria Disastra” mengandung berkah dari tumpah darah tempat ia bertumbuh.
/2/
Buku SdN terdiri atas karya asli Soeria Disastra dan terjemahan dari karya-karya para penulis Tionghoa. Dalam tulisan ini saya akan membicarakan karya-karya asli Soeria Disastra saja, tidak termasuk karya terjemahannya. Berdasarkan bentuknya, SdN terdiri atas prosa dan puisi. Menurut Soeria Disastra sendiri puisi dan prosa memiliki kekhasannya masing-masing: “Puisi adalah sastra yang menghayati dunia, prosa adalah sastra yang menceritakan dunia.” (Hlm. 100). Kemudian ia menjelaskan, “Penyair mentransformasi segala sesuatu dalam dunia menjadi luapan emosi kontemplasi subjektif, sedangkan prosa berniat dan bertujuan melukis dunia sebagaimana adanya.” Dalam konsep seperti ini, prosa lebih mendekati peristiwa (reference), sedangkan puisi lebih mendekati makna (sense) dalam pengertian Ricoueur.[5]
Dalam bagian pertama terkumpul sebelas tulisan, yang jika dikelompokkan lagi akan menampakkan lukisan nasib yang menimpa orang-orang Tionghoa sepanjang sejarahnya. Termasuk dalam kategori ini ialah “Keturunan Manusia dari Negeri Utara”, “Senja di Nusantara”, “Renungan Nasib”, “Percikan Permenungan dan Kerinduan” dan “Dua Pohon Cemara Manusia Qiao Zhong”. Dalam lukisan-lukisan ini digambarkan bagaimana kecemasan dan kegetiran menimpa orang-orang Tionghoa, serta harapannya di masa datang. Mereka datang dari tanah Tiongkok yang subur dan indah karena kegalauan politik dan bujuk rayu kaum Kolonial yang kekurangan tenaga di Nusantara. Di tanah inilah lakon sedih dan gembira ini dipanggungkan. Dalam memandang masalah ini Soeria Disastra melakukan kritik ke dua arah yang berbeda, yaitu ke arah kaum penguasa yang seringkali menjadikan orang-orang Tionghoa sebagai kambing hitam atau tumbal bagi kepentingan politik jangka pendek; dan ke arah kaumnya sendiri, yang memiliki kelimpahan ekonomi, yang ering kali buta terhadap lingkungan sekeliling.
Tulisan lainnya berupa esai-esai mengenai seni dan sastra. Jika politik dan ekonomi sering kali menjadi ilalang kering yang mudah disulut api kemarahan, maka bidang seni budaya ini dianggap dapat memberi ruang bagi orang-orang untuk duduk bersama, saling mendengarkan, dan saling memahami. Soeria mencatat bahwa pertunjukan musik Ku Ceng pasca-kejatuhan Soeharto begitu mengharukan karena diapresiasi oleh banyak orang. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ia percaya pada pendidikan sastra dan penciptaan karya-karya yang populer dan, bersama kawan-kawannya, meyelenggarakan sebuah lomba penulisan cerpen mini berbahasa Sunda.
Bagian kedua merupakan esai-esai dan kritik terhadap karya sastra Yin Hua. Pada bagian ini Soeria Disastra menjadi juru bicara karya-karya Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Tionghoa. Pada bagian ini nampak pandangan-pandangan romantiknya. Sesuai dengan perbedaan prosa dan puisi, yang dinyatakan oleh Soeria Disastra, maka kadar peristiwa dalam esai/kritik sastranya jauh lebih besar daripada lukisan-lukisan permenungannya dalam bagian satu. Dan kadar peristiwa atau makna referensi yang paling sedikit seharusnya terletak pada karya-karya puisinya. Namun, dalam “Senja di Nusantara” penyajian peristiwa kurang. Seperti dinyatakan oleh Dong Rui, Soeria Disastra membungkus karangannya dengan “cuaca senja” dan dengan bahasa yang deskriptif dan hidup, serta menghindari istilah-istilah politik yang panjang. Oleh karena itu, bersetuju dengan Dong Rui “Senja di Nusantara” lebih merupakan prosa lirik.
Berbeda dengan prosanya, puisi-puisi dalam SdN justru memperlihatkan ciri yang sebaliknya, yakni berupa puisi prosais! Misalnya pada puisi “Bunuh Diri”. Soeria menulis, Puas rasa membakar dan menjarah/Tapi ekonomi bangsa menyatu tak terpisah/Engkau dan aku sama-sama jatuh ke lembah. Puisi ini lebih menyerupai catatan harian, yakni catatan singkat yang sangat terkait dengan konteks peristiwa. Kata-katanya terkungkung oleh makna referensial dan kurang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Peristiwa tak tersublimasikan ke dalam sense. Peristiwa tinggal tetap sebagai lukisan. Dalam sebuah metafora, mungkin, puisinya dapat digambarkan sebagai ulat yang tetap menjadi ulat. Ia hanya berpindah dari dahan yang satu ke dahan yang lain, tetapi tidak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang terbang bebas meninggalkan kepompongnya.
Akan tetapi, bukan berarti semua puisinya menjadi sia-sia. Puisi “Dodol Tahun Baru Imlek”, di antaranya, merupakan kekecualian. Puisi ini mampu melepaskan diri dari kungkungan makna referensinya. Terutama, dengan munculnya makna polisemi dari permainan konteks kata “coklat”. Pada bait pertama “coklat” mengacu pada warna dodol dan orang (pribumi) yang berwarna coklat: Dodol tahun baru imlek, coklat/Bulat sebulat matahari yang penuh gairah/Bulat sebulat bulan yag selalu pasrah/Bulat sebulat hati yag ingin memberi/Untukmu saudaraku yang berwajah berseri, coklat
Pada bait kedua coklat juga tidak hanya mengacu pada warna dodol, tetapi mengacu pula pada warna tanah. Dodol tahun bari imlek, coklat/Rasa tak habis-habis bagai madu Sumbawa manis/Padu menyatu melekat bagai tanah liat, coklat/. Dan, pada bait ketiga, tampillah kejutan: Dodol tahun baru imlek, coklat/Dipotong seorang sepotong bersama bermanis-manis/Hati dan hati jadi tanah yang lekat, coklat. Ada sebuah proses “menjadi”, yang dinikmati dalam kebersamaan.
/3/
Ada sebuah pertanyaan yang timbul setelah membaca SdN karya Soeria Disastra. Mengapa prosanya liris dan puisinya menjadi prosais? Dalam hal ini saya percaya bahwa dorongan terkuat dari penciptaan karya-karyanya adalah politik, yakni politik penindasan atau politik penyingkiran. Dalam karya seperti ini, biasanya, muncul karya-karya yang dramatis, seperti pada puisi-puisi Rendra atau Taufik Ismail. Akan tetapi, kekuasaan telah memasungnya, hingga sang pengarang menyelubungi maksudnya dengan metafora (dalam prosa) dan menyamarkannya dalam tata bunyi (puisi). Oleh karena itu, metafora yang mestinya membebaskan malah membungkus pandangan-pandangan politisnya. Begitu pun dalam puisi yang seharusnya mengalami transendensi ke arah makna teks yang sublim dan polisemis malah tertambat pada makna peristiwa, sebab metafora kurang berperan.
Betapa sulitnya jalan dari Cina ke Tionghoa.
* Dosen Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Sunda UNPAD dan masih tercatat secagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.
[1] Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 88 dan 113.
[2] Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Hlm. 101.
[3] idem
[4] Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hlm. 265-266.
[5] Ricoueur, Paul. 1996. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah. Diterjemahkan oleh Hani’ah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 8.
Komentar
Posting Komentar