Atheis dan Seabad Achdiat Karta Mihardja
Iman Herdiana
Jum'at, 01 April 2011 12:23 wib
0 0Email0
Image : Corbis.com
BANDUNG - Boleh jadi novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja ditulis puluhan tahun lalu, namun hingga kini masih relevan dengan kondisi saat ini. Novel ini mengisahkan kegelisahan manusia dalam mencari pegangan hidup di tengah zaman yang makin modern, khususnya transisi masyarakat tradisional ke budaya urban.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi sastra bertema Atheis dan Seabad Achdiat Karta Mihardja, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat. Salah satu pembicara diskusi berasal dari dari Forum Kajian Budaya Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi.
Menurut Acep, Berbicara novel Atheis begitu gereget dan relevan. "Karena terkait dengan krisis keberagamaan yang kita hadapi saat ini," kata Acep, Kamis (30/3/2011) malam.
Dalam diskusi yang moderatornya sastrawan Ahda Imran itu, juga hadir pembicara Teddi Muhtadin (Dosen sastra Universitas Padjdjaran) dan Bambang Q Anees (dosen teologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati).
Acep melanjutkan, novel berkisah tentang Hasan yang berasal dari kampung dengan latar tradisi Islam yang kental. Tetapi begitu tiba di kota, dia mengalami shock sebagai manusia urban, bersentuhan dengan berbagai paham, pemikiran, dan ideologi. Hasan hidup di tengah dunia yang mempertanyakan peran agama.
"Tetapi Ahdiat, penulis novel Atheis, akhirnya tak berpihak kepada agama maupun non agama atau atheis, menurutnya manusia akan berarti jika memiliki cinta kasih pada sesama. Saat inilah masyarakat kita saat ini juga krisis cinta kasih," ujarnya.
Teddi Muhtadin mengatakan, novel Atheis jadi besar karena mampu menangkap perkembangan jaman. Ahdiat mampu memahami masyarakat yang beragam, yakni yang beragama dan yang minoritas yang dalam novel diwakili oleh Hasan yang atheis.
"Peran dialog sangat ditekankan dalam novel, misalnya dialog antara Hasan dengan Anwar, Rusli, dan lainnya. Pemikiran memang harus didialogkan, jangan didiamkan," ujar Teddi.
Sementara Bambang, menyatakan pencarian pegangan hidup dalam novel Atheis merupakan sebuah proses yang tak berakhir, dan masih terjadi hingga kini. Meskipun agama sudah ada, tetapi pencarian bagaimananya beragama itu yang masih terjadi.
"Novel ini justru mengugat bagaimana cara kita beragama. Sebuah perjalanan pencarian yang dialami semua orang di semua jaman. Atheisme merupakan perjalanan dan jangan dianggap kejahatan. Agamawan justru harus memberikan ruang supaya perjalanannya itu mencapai tujuan, yakni bisa kembali ke agama maupun yang lain," papar Bambang.(rhs)
Dikutip dari Okezone.com
Hal tersebut terungkap dalam diskusi sastra bertema Atheis dan Seabad Achdiat Karta Mihardja, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat. Salah satu pembicara diskusi berasal dari dari Forum Kajian Budaya Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi.
Menurut Acep, Berbicara novel Atheis begitu gereget dan relevan. "Karena terkait dengan krisis keberagamaan yang kita hadapi saat ini," kata Acep, Kamis (30/3/2011) malam.
Dalam diskusi yang moderatornya sastrawan Ahda Imran itu, juga hadir pembicara Teddi Muhtadin (Dosen sastra Universitas Padjdjaran) dan Bambang Q Anees (dosen teologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati).
Acep melanjutkan, novel berkisah tentang Hasan yang berasal dari kampung dengan latar tradisi Islam yang kental. Tetapi begitu tiba di kota, dia mengalami shock sebagai manusia urban, bersentuhan dengan berbagai paham, pemikiran, dan ideologi. Hasan hidup di tengah dunia yang mempertanyakan peran agama.
"Tetapi Ahdiat, penulis novel Atheis, akhirnya tak berpihak kepada agama maupun non agama atau atheis, menurutnya manusia akan berarti jika memiliki cinta kasih pada sesama. Saat inilah masyarakat kita saat ini juga krisis cinta kasih," ujarnya.
Teddi Muhtadin mengatakan, novel Atheis jadi besar karena mampu menangkap perkembangan jaman. Ahdiat mampu memahami masyarakat yang beragam, yakni yang beragama dan yang minoritas yang dalam novel diwakili oleh Hasan yang atheis.
"Peran dialog sangat ditekankan dalam novel, misalnya dialog antara Hasan dengan Anwar, Rusli, dan lainnya. Pemikiran memang harus didialogkan, jangan didiamkan," ujar Teddi.
Sementara Bambang, menyatakan pencarian pegangan hidup dalam novel Atheis merupakan sebuah proses yang tak berakhir, dan masih terjadi hingga kini. Meskipun agama sudah ada, tetapi pencarian bagaimananya beragama itu yang masih terjadi.
"Novel ini justru mengugat bagaimana cara kita beragama. Sebuah perjalanan pencarian yang dialami semua orang di semua jaman. Atheisme merupakan perjalanan dan jangan dianggap kejahatan. Agamawan justru harus memberikan ruang supaya perjalanannya itu mencapai tujuan, yakni bisa kembali ke agama maupun yang lain," papar Bambang.(rhs)
Dikutip dari Okezone.com
Komentar
Posting Komentar