Bebaskan Aku dari Rasa Sayang
Téddi
Muhtadin
Buku Merayakan Hidup (Eko) |
Pak Dudih adalah guru
besar linguistik di Fakutas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Nama
lengkapnya Prof. Dr. Dudih Amir Zuhud, M.A. Sebagai mahaguru Pak Dudih berdiri
di strata tertinggi di lingkungan akademik. Meskipun berkedudukan tinggi Pak
Dudih adalah seorang mahaguru yang membumi. Ia tetap seorang dosen yang hangat,
penuh empati dan memiliki selera humor yang kuat. Humor-humornya dalam bahasa
Sunda begitu spontan. Namun, Pak Dudih juga bisa marah. Saya pernah satu kali
menyaksikannya dalam satu rapat Fakultas.
Saya mempunyai pengalaman
yang tak terlupakan dengan Pak Dudih. Ini berkaitan dengan perjalanan hidup
saya sebagai seorang bakal calon pegawai negeri sipil di lingkungan Fakultas
Sastra Unpad. Saat itu Pak Dudih menjabat sebagai Pembantu Dekan I yang
bertugas mewawancarai para bakal calon dosen tersebut. Saya mengikuti semua
perosedur penerimaan: dari mulai tes tertulis sampai praktik mengajar. Namun,
Pak Dudih adalah pewawancara yang ganjil. Seharusnya sebagai PD 1 beliau
menanyai saya tentang hal-hal yang berkaitan dengan akademik. Mungkin kurikulum,
GBPP, SAP, atau yang berkaitan dengan praktik mengajar. Semua itu tidak
dilakukannya. Alih-alih bertanya tentang hal-hal yang bersifat akademik, Pak
Dudih malah bertanya apakah saya sudah punya pacar, apakah saya mau
dipertemukan dengan seorang gadis dan keluarganya. Jika saya siap Pak Dudih bersedia
mengantar.
Saat itu saya kaget
dan sulit menjawab. Saya hanya senyam-senyum dan, mungkin, membuat Pak Dudih
jengkel. Kemudian, beberapa bulan berlalu, Pak Dudih yang PD 1 itu, benar-benar
menjadi “mak comblang” untuk seorang remaja senja. Dalam acara makan siang saya
dipertemukan dengan gadis manis lulusan penguruan tinggi yang terkenal.
Peristiwa itu membuat
saya bertanya mengapa Pak Dudih lebih perduli terhadap kehidupan keluarga yang
harus saya bangun? Mengapa ia tak mengajukan sedikit pun pertanyaan tentang kompetensi akademik yang menjadi tugasnya?
Saya menduga bagi Pak
Dudih hidup berkeluarga jauh lebih penting daripada bertanya tentang kesungguhan
saya untuk menjadi dosen. Bukankah beliau sudah mengetahui bahwa saya sudah
enam tahun magang, sudah dua kali mengikuti tes, dan tidak pernah berpindah
mencari pekerjaan lain. Mungkin juga Pak Dudih sudah mengetahui ketidakmampuan
saya.
Teddi, Nana, Rasus, Erlina (Eko) |
Akhirnya, kami tidak
berjodoh. Saya menikah dengan gadis yang lain. Namun, apa yang diupayakan Pak
Dudih begitu mengendap di dalam benak. Kini, setelah belasan tahun berlalu
maknanya tampak nyata, bahwa hidup berkeluarga, bahwa memiliki teman sejati, yaitu istri, adalah satu pencapaian yang layak dirayakan. Mungkin
keberadaannya biasa saja, namun ketiadaannya sangat mengguncang. Barangkali, itulah
sebabnya Pak Dudih memberi judul kumpulan sajaknya Merayakan Hidup. Rasa humor, empatinya terhadap orang lain, pun kemarahannya
masih muncul dalam sajak-sajaknya, tetapi yang menjadi ruh atau motif dasar kumpulan
sajak tersebut adalah kerinduan yang begitu dalam kepada sang teman sejati.
Dalam sajak yang ditulis paling awal, namun ditempatkan paling akhir, kita
melihat dampak yang begitu besar terhadap sang subjek lirik akibat dari
ketiadaannya. Dalam sajak yang ditulis 2 Januari 2012 tersebut Pak Dudih
menulis:
After shes’s gone
I walk alone.
Through dark road
alone
And I don’t know
which direction to take
I don’t care what
will happen
Because my sorrow
deepens.
And right or wrong
seems the same to me.
Sajak ini memberi tahu
kita betapa teman sejati itu begitu besar artinya bagi sang subjek lirik. Pak Dudih
yang guru besar itu adalah seorang akademisi yang harus kokoh memegang prinsip
akademik, yang harus empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verikikatif.
Namun, dalam sajaknya sang subjek lirik justru gamang sehingga tidak tahu arah
dan tujuan, tak bisa membedakan baik dan buruk. Saya tidak tahu apakah
sebelumnya Pak Dudih menulis sajak. Namun, yang jelas, sang guru besar itu kini
telah menjadi penyair. Dalam sebuah sajaknya yang bertanggal 12 Januari 2015, Pak
Dudih merendah bahwa sajaknya tidak indah. Namun, sulit diingkari bahwa
sajak-sajaknya menyentuh dan mengharukan. Ini terjadi karena sajak-sajaknya
meluap dari gejolak hatinya, bukan datang dari hasrat mencipta karya sastra
sehingga tékték bengék semacam judul menjadi tidak relevan.
Merayakan Hidup (Eko) |
Sikap seperti itulah
yang memungkinkan lahirnya sajak-sajak terbaik dalam kumpulan ini, seperti
sajak bertanggal 29 April 2012 “Doa untuk Istriku” dan sajak bertanggal 10
Desember 2014, “Untuk Prof. Chaedar”. Dalam “Doa untuk Istriku” teman sejati
yang telah meninggal dunia ia bandingkan dengan seseorang yang harus dijaga
dengan hati-hati agar tidurnya tetap terlelap. Ia berusaha tidak menangis
apalagi menjerit, walaupun sakit, agar dia tidak terusik. Sungguh mengejutkan
pada tiga larik terakhir tiba-tiba subjek lirik sadar bahwa perjalanan hidupnya
pun akan menuju ke ketiadaan dan satu ketika mereka akan hidup bersama lagi. Pada
titik ini kematian menjadi sesuatu yang dirindukan.
Doa untuk Istriku:
Tidurlah yang lelap
Diselimuti kasih
Ilahi
Air mata ini tak bisa
ditahan
Tapi bukan tak rela
kaupergi
Hanyalah ganti suara
yang senyap
Aku mau menjerit
menyapa langit
Namun aku takut kau
terjaga
Dan jadi terasa lagi
yang sakit.
Aku tahan ini ratapan
dengan suara hujan.
Tidurlah yang lelap
Nanti kala
kauterjaga.
Di sampingmu aku
telah berada
Sajak ini sebanding
dengan sajak “Untuk Prof. Chaedar” yang bertanggal 10 Desember 2014. Pada sajak
ini pun subjek lirik melihat kepergian sahabatnya seperti orang yang “berjalan
bergegas/Seolah rindu Ilahi”. Adapun subjek lirik “tak bisa mengantar terlalu
jauh”. Sama halnya dengan sajak “Doa untuk Istriku” subjek lirik mengungkapkan
harapan yang sama:
Tunggu aku dengan
rindu
Mungkin tak lama
Kita berjumpa
Selain sajak-sajak
berbahasa Indonesia dan Inggris, dalam Merayakan
Hidup terdapat pula sajak-sajak berbahasa Jawa, Perancis, Jerman, dan
Sunda. Sajak-sajak Sundanya lebih beragam. Di sini tampak bahwa Pak Dudih bukan hanya menguasai penulisan sajak bebas, tetapi menguasai pula
bentuk-bentuk puisi tradisional Sunda seperti sisindiran ‘pantun’, papatet,
dan dangding. Sebagai guru besar yang
pernah menjadi guru sekolah dasar,
tentu hal yang wajar. Puisi-puisi tersebut lebih indah jika bukan hanya dibaca,
tetapi ditembangkan.
Untuk mengugkapkan
rasa humornya Pak Dudih menggunakan sajak bebas dan sisindiran atau sésébréd.
Namun, untuk mewadahi suara hatinya yang murung, rindu, dan bimbang ia gunakan dangding dan papatet. Pada pupuh asmarandana
yang bertanggal 14 Maret 2013 tampak Pak Dudih sangat menguasai seluk beluk pupuh.
Kesedihan karena ditinggal pergi oleh teman sejati ia ungkapkan dalam pilihan
pupuh, pilihan kata, rima, guru lagu
‘bunyi vokal akhir setiap larik’, guru
wilangan ‘jumlah suku kata dalam
setiap larik’, dan pedotan ‘jeda di tengah larik’ yang
tepat.
Dudih Amir Zuhun (Eko) |
Ati teu eureun ngageuri
Peurih lir keuna ku peurah
Teu bisa diupah-apéh
Terus-terusan marudah
Inget waé ka nu
mulang
Asa milu puput umur
Kabeungkeut rasa
honcéwang!
Inilah kumpulan sajak
tentang teman sejati yang menjadi alasan kuat mengapa hidup menjadi penting
untuk dirayakan. Namun, karena teman sejati begitu menyatu dengan sang diri,
kepergiannya menjadi kepedihan yang tidak tertahankan. Oleh karena itu, teman sejati yang
menjadi sumber kegembiraan, juga menjadi sumber kesedihan. “Kekasihku/Sepeninggalmu
hidupku takbahagia/Berantakan/Dan jadi beban/Bagi anak-anak dan orang lain” (15
Januari 2015). Sang kekasih begitu menyedot perhatiannya hingga dalam larik
yang lain muncul larik yang sangat matang “Bebaskan aku dari rasa sayang” (23
Desember 2014).
Pamungkas, Santolo Cilauteureun. Kasono teu eureun-eureun.
Selamat membaca!
Selamat merayakan hidup!
Lélés, 9 Februari 2015
Komentar
Posting Komentar