Puisi Sunda Khazanah Sastra Dunia

7 November 2013

Sudah Sejak Lama, Puisi Sunda Jadi Bagian dari Khazanah Sastra Dunia

[Unpad.ac.id, 7/11/2013] Puisi Sunda bukanlah kategori sastra yang terkucil, namun merupakan bagian dari sastra Nusantara bahkan dunia. Ia pun punya pertautan dengan sastra yang lain sehingga tautan inilah yang menjadikan puisi Sunda bersifat khusus, unik, taktergantikan, dan tidak identik dengan puisi yang lain.
Tedi Muhtadin, MHum (kiri) usai menerima cindera mata dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Prof. Dr. Dadang Suganda, M.Hum (Foto: Arief Maulana)*
“Hal itulah yang membuat puisi Sunda punya identitas. Identitas itu tidaklah terberi sekali untuk selamanya, ia dibangun dan berubah sepanjang kurun hayat,” ujar Dosen Sastra Sunda FIB Unpad, Tedi Muhtadin, M.Hum., saat membacakan orasi ilmiah berjudul “Eksistensi Puisi Sunda dalam Hubungannya dengan Identitas dan Generasi Pascasunda” di hadapan civitas akademika FIB Unpad, Kamis (07/11) di Aula PSBJ FIB Unpad.
Tedi mengungkapkan, puisi Sunda sudah lama menjadi bagian dari khazanah sastra lisan Nusantara. Hal ini terlihat dari ragam puisi yang ditulis dalam naskah Sunda Kuno. Naskah tersebut ditulis pada abad ke-16, misalnya Putra Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Kisah Bujangga mAnisk: Jejak Langkah Peziarah.
“Jika kita cermati puisi Sunda seperti yang tersurat di naskah Sunda Kuno, maka kita akan melihat pertautan puisi tersebut dengan bentuk sastra yang berasal dari India,” ungkap Tedi.
Tautan tersebut terlihat dari struktur puisi. Selain menyadur cerita dari khazanah sastra India, bentuk puisi Sunda pun menggunakan pola delapan suku kata pada setiap lariknya. Adapun bentuk lain dari puisi tersebut adalah sisindiran, sa’ir, pupuh, hingga yang lebih modern disebut sajak.
Untuk Sajak Sunda—Tedi mengutip pernyataan dari budayawan Sunda, Ajip Rosidi—mulai ditulis sesudah perang dunia kedua dan banyak terpengaruh oleh sastra Indonesia. Namun, terjadi polemik yang mempertanyakan apakah sajak Sunda masih memiliki identitasnya sebagai produk Kesundaan. Apalagi, polemik ini mencuat bersamaan dengan wacana kesundaan dalam keindonesiaan yang menyeruak pada media berbahasa Sunda tahun 1950-an.
Lebih lanjut Tedi mengungkapkan, meskipun sajak Sunda lahir dari pengaruh sastra Indonesia, salah seorang penyair Sunda, Sayudi justru mengukuhkan kembali puisi Sunda “lama”. “Sayudi pada waktu itu berpendapat tradisi Sunda tidak akan berkurang sehingga ia pun tetap teguh membumi Sunda,” jelas Tedi.
Pasca Sayudi, beberapa penyair Sunda pun tetap membumikan kesundaannya sehingga menjadikan tradisi puisi Sunda menjadi tetap hidup dan memungkinkan penyair pun menjadi penyair dwibahasa, yakni menulis sajak dalam bahasa Sunda maupun Indonesia. Buah karya tersebut kemudian dimuat oleh media-media Sunda, seperti Mangle, Galura, Cupumanik, dan media lainnya.
Menginjak generasi Pascasunda, puisi Sunda pun kembali mengalami pertautan dengan budaya global. Puisi Sunda tidak lagi ditulis dari daerah di Jawa Barat, tetapi juga dapat ditulis dari mancanegara. Maraknya jejaring sosial saat ini juga turut berpengaruh pada perkembangan puisi Sunda.
“Situasi ini seringkali menimbulkan pencarian identitas kembali. Namun, di sisi lain ini juga salah satu cara untuk mempertahankan khazanah sastra Sunda,” ujar Tedi.
Orasi ilmiah tersebut dibacakan dalam rangka Dies Natalis ke-54 FIB Unpad. Tedi pun berharap, mahasiswa sastra, khususnya Sastra Sunda untuk mempertahankan tradisi kesundaan dalam karya sastranya. “Sudah saatnya mahasiswa sastra, khususnya Sastra Sunda, tetap membumikan kesundaannya,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Arief Maulana / eh*

Komentar