Aforisme

Teddi Muhtadin


· Perkawinan dua manusia adalah hamburan ke laut lepas. Dan, keduanya mesti berada dalam keadaan bangga.

· Mani dan money bisa menjadi muslihat. Baginda Raja atau Tuan Presiden bisa saja menggunakan salah satu atau keduanya. Bukankah kita sepakat dengan Machiavali bahwa tak ada seorang jujur pun yang mampu naik ke puncak kekuasaan tanpa muslihat.

· Harus dibayangkan bahwa kenyataan adalah sampiran –yang hubungannya dengan makna sangatlah labil. Seperti dalam sisindiran, seperti umang dengan rumahnya. Tidak seperti siput.

· Penyair adalah laki-laki yang kawin dengan peri, menggumulnya dengan berahi dan melepasnya di pagi buta.

· Malam adalah sahabat maling, penyair, dan para sufi. Saat malam para pemberani mendaki hati, menyelam dasar jiwa, atau menyusuri ruang-ruang kosong makna. Dan malaikat mencatatanya sebagai tanda pada nisan.

· Mimpi adalah jalan setapak, tanpa rambu-rambu, tapi selalu menuju ke rumah kita. Membuka pintunya, memasuki kamar-kamarnya, dan di sana kita asyik menulis catatan harian.

· Teks dan tafsir seperti kereta api dan si pejalan kaki. Keduanya pernah bertemu di satu persimpangan. Tapi, mereka tak bisa sua berlama-lama. Mereka mesti melanjutkan perjalanan masing-masing. Mungkin, suatu saat, mereka kembali jumpa.

· Cinta bermula dari hal yang sangat cetek. Lalu bergerak ke padang yang meluas, laut yang mendalam dan langit yang meninggi. Tapi, sang makna tak bisa dicari di mana pun. Ia tetap sembunyi di tiap serpihan hati. (Yogyakarta, 26 Januari 2002).

· Cinta mengenal terminal fisikal bukan sebagai tempat tujuan, tapi sebuah awal yang mesti dilampaui. (Yogyakarta, 26 Januari 2002).

· Jangan lengah di saat cerah!

· Memimpin adalah seni menemukan pola putaran. Lalu, mendorongnya ke arah tujuan.

Komentar