Bahasa dan Tubuh: Telaah Pascakolonial Atas Cerpen “Tuan Kawasa” Karya Tjaraka

1. Pengantar

Hampir semua bangsa di dunia terlibat dalam wacana kolonialisme, baik sebagai penjajah maupun sebagai terjajah. Tak terkecuali (suku) bangsa Sunda. Belanda adalah salah satu kolonialis yang menghunjam dalam ingatan manusia Sunda –terutama dalam karya sastranya. Ini berarti bukan hanya bahwa sastra Sunda, khususnya sastra Sunda modern, pertama-tama “diciptakan” oleh Belanda melalui institusi Balai Pustaka, tetapi banyak di antara pengalaman kolonialisme itu pun mengendap dalam bentuk karya sastra. Dalam hubungannya dengan imperialisme Edward W. Said[1]. mengatakan:

peperangan utama dalam imperialisme tentu saja untuk merebut tanah; tetapi ketika sampai pada masalah siapa yang memiliki tanah itu, siapa yang berhak menetap dan menggarapnya, yang mempertahankannya, yang merebutnya kembali, dan yang kini merencanakan masa depannya –isu-isu ini direnungkan, digugat, dan bahkan untuk suatu masa yang ditetapkan dalam narasi. (13)

Salah satu pengarang sastra Sunda yang di antara karya-karyanya mengangkat masalah atau berlatar kolonialisme ini adalah Tjaraka. Bagi para pembaca sastra Indonesia, mungkin, nama Tjaraka tidak atau kurang dikenal. Oleh karena itu ada baiknya disinggung serba sedikit mengenai dirina.

Tjaraka lahir Kawungluwuk, Conggeang, Sumedang tahun 1902 dan meninggal dunia di Bandung tahun 1983, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra karena ia tercatat sebagai salah satu perintis Kemerdekaan RI.[2]

Tjaraka, pada tahun 1917 menjadi guru sekolah dasar di Sukabumi. Sejak tahun 1918 berlangganan surat kabar Kaoem Moeda serta mulai menulis pada surat kabar, serta terus menjadi anggota Sarekat Islam. Kegiatannya dalam pergerakan semakin menjadi-jadi, hingga pada tahun 1923 ia keluar atau dikeluarkan sebagai guru. Setelah bekerja sebentar di Karawang, pada satu perusahaan swasta, tahun 1925 ia pindah ke Bandung menjadi redaktur mingguan bahasa Sunda Soerapati yang dipimpin oleh Moh. Sanoesi yang aktif dalam Sarekat Islam serta pada tahun 1923 menerbitkan buku Siti Rajati. Ketika bekerja pada mingguan Soerapati, Tjaraka dihukum karena persdelict dalam artikelnya “Tan Malaka Dibuang”. Pada tahun 1927 ia dibuang bersama para nasionalis ke Boven Digoel di Irian Jaya, baru dipulangkan tahun 1931.

Sebenarnya Tjaraka merupakan nama pena, dalam kesehariannya ia biasa dipanggil dengan nama Wiranta, dan ketika kecil ia biasa dipanggil dengan nama Tahya dan sering dipanggil Oyo. Akan tetapi, ketika menulis novel Antara Idup dan Mati atawa Buron dari Boven Digoel (1931) ia menggunakan nama Wiranta dengan keterangan “ex Digoelist”. Menurut Ajip Rosidi jika ia menggunakan nama Tjaraka tentu saja tak akan tercantum dalam catatan di antara kaul Digoelist -mungkin agar lebih dipercaya.

Beberapa karya Tjaraka yang berlatar kolonialisme selain Antara Idup dan Mati atawa Buron dari Boven Digoel (1931) adalah Sripangung (1963) dan cerpen “Tuan Kawasa” (Tuan Kuasa) yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Awéwé Dulang Tinandé (1997).

Ketiga karya Tjaraka ini menarik untuk dibahas dari sudut pandang pascakolonial. Akan tetapi, dalam tulisan pendek ini saya akan mengkhususkan diri membahas cerpen “Tuan Kawasa” (TK). Sebelum diterbikan dalam bentuk buku, cerpen ini pernah dimuat dalam majalah mingguan berbahasa Sunda Manglé pada nomor 575-5.

Pascakolonial adalah strategi teoritis untuk meneliti kebudayaan (politik, kesusastraan, dsb.) dari koloni-koloni negara-negara jajahan Eropa dan hubungan Eropa dengan negara-negara lainnya. Menurut Lo dan Gilbert (1998: 1) ada tiga kelompok studi pascakolonial, pertama berurusan dengan kebudayaan-kebudayaan yang pernah takluk pada imperialisme Eropa. Baik kebudayaan-kebudayaan yang ada pada masa kolonial maupun sesudah kolonial. Kedua, berurusan dengan kebudayaan-kebudayaan bekas jajahan terutama dari respon masyarakat terjajah terhadap kolonialisme. Ketiga, mempelajari kolonialisme sebagai hasil yang tak terelakkan dari modernisasi dan industrialisasi sehingga studi tersebut dapat mencakup represi dan marginalitas yang diakibatkan oleh kapitalisme.

Dari definisi-definisi tersebut di atas Faruk[3] menjelaskan bahwa kebudayaan dari masyarakat yang pernah/sedang terjajah tidak bisa dipahami di luar konteks penjajahan. Kebudayaan dari masyarakat yang sedang/pernah terjajah dipengaruhi oleh keadaan/situasi dan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme. Pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan masyarakat terjajah berlangsung lama dan mendalam. Artinya, dapat terus berlangsung meskipun penjajahan sudah berakhir dan dapat terus beroperasi meskipun masyarakat terjajah melakukan perlawanan terhadapnya. Mendalam dan meluasnya pengaruh kolonialisme ini disebabkan oleh cara penanaman kekuasaannya yang bersifat manipulatif –dapat berubah dalam berbagai bentuk.

Lebih lanjut Faruk mengatakan bahwa, mengingat pengaruh yang mendalam dari penjajah ke masyarakat terjajah, studi pascakolonial berusaha membuka operasi kekuasaan di balik teori atau praktik yang kelihatan tidak bersifat politis. Berhubungan dengan hal-hal tersebut ada beberapa wilayah/situs yang dapat dipelajari oleh pascakolonialisme yaitu bahasa, sejarah, nasionalisme, teks-teks kanon, tubuh, ruang dan gender.

Dalam tulisan pendek ini saya akan memahami cerpen TK dari sudut pandang bahasa dan tubuh. Cerpen ini sebenarnya secara eksplisit penyajikan wacana kolonialime, yakni hubungan antara penjajah dan terjajah. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan bahwa cerpen tersebut ditulis oleh Tjaraka yang merupakan bagian dari si terjajah maka teks tersebut bisa dibaca sebagai teks pascakolonial. Dengan demikian, pertanyaan yang akan diajukan yaitu bagaimana tanggapan si terjajah terhadap kaum penjajah. Atau, bagimana manifestasi kukuasaan dan tanggapan atas kekuasaan itu atas bahasa dan tubuh dalam cerpen TK karya Tjaraka.

2. Bahasa

Cerpen ini bercerita tentang seorang Belanda yang menginginkan seorang pemetik teh bernama Nyi Onah –yang dalam bahasa Sunda disebut bujang petik- untuk dijadikan nyai karena istrinya sedang pergi ke negerinya untuk berobat. Keinginan Tuan Kuasa pemilik perkebunan teh tersebut tidak berjalan mulus karena gadis yang diinginkannya anak seorang merebot (penabuh bedug di mesjid) dan suka bersembahyang. Artinya ia seorang yang taat beragama Islam. Padahal Tuan Kuasa seorang Kristen. Untuk meluluskan keinginan tuannya seorang mandor dan dua orang polisi memaksa Sahlan –ayah si gadis- dan menyeretnya ke hadapan Tuan Kuasa. Namun, di luar dugaan, Tuan Kuasa bukannya menerima dengan baik usaha ketiga orang tersebut, tetapi malah memberinya hukuman, sedangkan Sahlah sendiri diberi uang. Hal itu terjadi karena Tuan Kuasa sudah tak memikirkan lagi si gadis, sebab istrinya –lewat surat yang ia terima- segera akan pulang ke rumahnya.

Bahasa yang digunakan dalam cerpen TK tentu saja bahasa Sunda, lebih khusus lagi bahasa Sunda dialek Priangan atau disebut juga dialek standar, tetapi ragam yang digunakan dalam narasi dan dialog (antartokoh) berbeda. Bahasa Sunda yang digunakan dalam narasi adalah bahasa Sunda ragam loma (kasar). Adapun bahasa Sunda yang digunakan dalam dialog terdiri atas tiga ragam yakni ragam loma (kasdar), lemes (halus) dan kacau[4]. Paragraf di bawah ini adalah contoh bahasa yang digunakan dalam narasi:

Srangéngé waktu éta masih kénéh dikeukeupan indung peuting. Tapi hatong...! Hatong nu dina sulubung haseup pabrik geus melengking ngahaung-haung. Ngageuingkeun kuli-kuli kontrak nu masih kénéh muyung dikarimbun sarung ngaringkuk dina balé-balé di jero bédéng. (48)

Kala itu Surya masih dalam dekapan malam. Tapi peluit ...! Peluit dari selubung asap pabrik telah berteriak-teriak. Membangunkan kuli-kuli kontak yang masih murung berselimut kain sarung di balai-balai dalam bedeng.

Kata-kata seperti waktu, tapi, geus, ngageuingkeun, jero adalah kata-kata yang lazim dianggap sebagai kosa kata ragam loma. Dalam konteks yang lain (ragam lemes) kata-kata ini dapat berubah bentuk menjadi waktos, nanging, parantos, ngagugahkeun, dan lebet. Adapun kata-kata lainnya biasa disebut kosa kata netral, karena baik dalam ragam loma, sedeng atau lemes kata-kata tersebut tidak berubah.

Sebagaimana telah dipaparkan dalam paragraf terhadulu ragam bahasa yang digunakan dalam dialog terdiri atas tiga macam yaitu loma, lemes dan kacau. Ragam bahasa loma digunakan dalam dialog antarpara pemetik teh, atau antara tokoh-tokoh di luar tokoh TK. Ragam bahasa lemes digunakan oleh para pekerja atau bawahan kepada Tuan Kawasa. Adapun Tuan Kawasa dalam dialog dengan para pekerja menggunakan ragam bahasa Sunda yang kacau. Kita perhatikan perbedaan-perbedaan tersebut dalam kutipan-kutipan di bawad ini:

“Tong daék Onah!” cék Bi Salamah…. “Baréto gé Si Eni 5 poé dipiara ku Anom Léon. Geus beunang parawanna mah dititah balik. Dibéré duit wéh 3 ringgit.

“Henteu Nyi Onah!” cék Bi Saritem. “Untung manéh dipikabogoh ku Juragan Kawasa mah. Engké Nyai dipiara jadi Nyai-nyai. …

“Kuring nu bingungna,” cék Mandor. “Bapana Nyi Onah téh merebot. Tukang sambéang. Ari Nyai-nya téa pan teu kawin. Moal mikeun bapana mah. Kapan deuih ari Walanda téh Karésten…. Lamun Bapana teu mikeun, kuring nu jadi Mandorna kapan kababawa….. Wah cilaka saréréa ieu mah!” (52-53)

“Jangan mau, Onah!” kata Bi Salamah.... “Dulu Si Eni hanya 5 hari dipelihara oleh Anom Leon. Setelah keperawanannya direbut ia disuruh pulang. Diberi uang 3 ringgit.

“Tidak Nyi Onah!” kata Bi Saritem. “Beruntung kamu diinginkan oleh Juragan Kuasa. Nanti Nyai dipelihara menjadi nyai-nyai....

“Aku bingung,” kata Mandor. “Bapa Nyi Onah itu merebot. Ahli sembahyang. Bukanlah nyai-nyai itu tidak kawin. Bapanya tak akan mengizinkan. Dan bukankah Belanda itu Kristen.... Jika bapanya tidak mengizinkan, aku yang menjadi Mandornya akan terbawa-bawa.... Wah semuanya akan celaka!”

Ragam bahasa yang digunakan oleh Bi Salamah, Bi Saritem dan Mandor adalah ragam bahasa Sunda loma yang sering pula disebut ragam bahasa Sunda akrab karena di dalamnya mengandung keakraban orang dari kedudukan yang sama yakni antara para pekerja. Ketika mereka berbicara dengan tuannya, ragam bahasa yang digunakan pun berubah menjadi ragam bahasa lemes -yang disebut pula dengan ragam bahasa hormat. Kata parantos ‘sudah’ dan sepuh ‘tua’ merupakan kosa kata ragam hormat. Dan, selain itu, nampak pula penggunaan kata honorifik yang berlebihan seperti Juaragan Kawasa, Kangjeng Tuan atau Kangjeng Tuan Besar yang merujuk pada diri TK. Dalam bahasa Sunda, memang, kata juragan, atau kangjeng merujuk kepada seseorang yang sangat dihormati.

... ngaharéwos: “... Juragan Kawasa, deuleu! (49)

... berbisik: “... Juragan Kawasa, lihat!”

“Ki Sahlan, Kangjeng Tuan! Parantos sepuh. Merebot di Masigit, Kangjeng Tuan!” (52)

“Ki Sahlan, Kangjeng Tuan! Sudah tua. Merebot di mushola, Kangkeng Tuan!”

“Henteu, Kangjeng Tuan Besar ... Bongan teu nurut paréntah Kangjeng Tuan Besar,” cék Pulisi.

“Tidak, Kangjeng Tuan Besar ... Karena tidak menuruti perintah Kangjeng Tuan Besar,” kata Polisi.

Bahasa yang digunakan oleh TK kepada adalah ragam yang kacau: ragam bahasa halus dipertukarkan dengan ragam bahasa loma. Kosa katanya campuran antara bahasa Sunda, Melayu, Belanda dan Jawa. Begitu pula strukturnya, seringkali digunakan bahasa Sunda dengan struktur non-Sunda.

“Godverdomme! Apa itu naon daun entéh sepuh dipetik, hah!” ...(51)

“Godverdomme! Mengapa daun teh yang tua kamu petik?”

“Mandor! Godverdomme! Kuwé Mandor tida masihan uninga, hah! Teu meunang metik daun nu parantos sepuh, hah! Mandor punya salah, Godverdomme! Mandor punya gajih bisa dipotong ngerti? Godverdomme!” (51)

“Mandor! Godverdomme! Kamu tidak memberi tahu! Tidak boleh memetik daun yang tua! Mandor salah, Godverdomme! Gaji Mandor bisa dipotong, mengerti? Godverdomme.

Kata masihan merupakan kosa kata ragam sedeng yang lazimnya digunakan untuk ego ketika berhadapan dengan orang yang “dihormati”. Kata uninga, sepuh merupakan kosa kata ragam lemes yang digunakan untuk orang lain yang juga “dihormati”. Kata meunang merupakan kosa kata ragam loma/kasar yang lazimnya digunakan kepada orang yang sejajar atau lebih rendah. Kata palay merupakan kosa kata ragam lemes budak (halus untuk anak-anak). Sedangkan kata-kata lainnya merupakan kosa kata netral yang bisa digunakan dalam ragam apapun. Dalam dialog TK penggunaan kata-kata itu dikacaukan sehingga memberi kesan seperti lelucon.

Selain ragam bahasa yang mencolok dari kalimat yang dilontarkan TK adalah pilihan kata (diksi) serta strukturnya. Meskipun kata-kata yang digunakan para pekerja bukan bahasa Sunda asli[5], tetapi pilihan kata yang digunakan Tuan Kawasa jelas campur aduk antara bahasa Sunda, Melayu, Belanda bahkan Jawa. Kata apa, itu, tida, punya jelas merupakan bahasa Melayu. Kata godverdomme adalah kata bahasa Belanda. Kata kuwe adalah kosa kata bahasa Jawa. Begitu pula strukturnya, kalimat “Mandor punya salah...” dan “Mandor punya gajih...” yang digunakan Tuan Kawasa jelas bukan struktur Sunda.

Dari segi penggunaan bahasa ini saya melihat bahwa ketepatan atau keselarasan penggunaan undak usuk (halus, kasar, sedang sesuai dengan konteksnya) menunjukkan adanya ketertiban. Dan ketertiban mengimplikasikan adanya kepatuhan. Patuh kepada siapa? Tentu saja kepatuhan dari si terjajah kepada si penjajah. Dalam cerpen TK si terjajah selalu menggunakan (undak usuk) bahasa Sunda sesuai dengan konteksnya, tetapi TK menggunakan bahasa Sunda yang kacau. Artinya, si penjajah berkuasa atas bahasa Sunda. Ia boleh menggunakan ragam bahasa apa saja atau boleh mencapur adukan kosa kata apa saja, bahkan menggunakan struktur bahasa apa saja. Kekuasaan si penjajah atas bahasa ini tak terbatas bahkan jauh melampaui Tuhan. Meskipun dalam TK tidak digambarkan bagaimana Tuhan berkata, tetapi dalam teks lain, Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Sunda misalnya, Tuhan berkata-kata dalam undak-usuk bahasa yang jelas, tidak seperti TK.

3. Tubuh

Tidak berbeda dengan bahasa, tubuh bukan sesuatu yang alamiah. Tubuh dan bahasa merupakan produk kultural. Tubuh seorang tentara berbeda dengan tubuh seorang penari. Yang pertama harus kuat, yang kedua harus lentur. Tubuh seorang petinju berbeda dengan tubuh seorang pelari cepat. Tubuh seorang pemain sepak bola berbeda dengan tubuh seorang juara angkat besi. Tubuh seorang tukang becak berbeda dengan tubuh seorang menteri. Tubuh yang selalu diberi gizi yang baik berbeda dengan tubuh yang kekurangan gizi. Tubuh yang sering membungkuk berbeda dengan tubuh yang selalu tegak. Dan, contoh seperti ini dapat terus diperpanjang.

Tubuh tokoh-tokoh TK juga berbeda. Perbedaannya bukan saja antara tubuh laki-laki berbeda dengan tubuh perempuan, atau tubuh yang berkulit sawo matang dengan yang berwarna bule. Akan tetapi, bagaimana tubuh itu dibentuk, diatur, disesuaikan oleh kultur.

Perhatikan kedua kutipan di bawah ini:

Isuk éta Juragan kawasa ngersakeun ngaronda. Lancingan pondok dril. Diputis, disapatu kebon. Diacuk kandel maké pét wol. Beubeur beuheung meulit ngahalangan nyecep tiisna hawa gunung. Nyepeng iteuk bari nyesep surutu karl-in....

Juragan Kawasa ngadeg dina mumunggang pasir. Ningali ka jauhna sakuliah jagat kebon entéh nu meunang ngupas rata.... Imut ngagelenyu, panonna ngarindat, dibarung ku nyeuseup hawa gunung. Plong molongpong sagala karudet nu sok nyandet, kapusing nu sok nyanding.

Paningalna ngagilir kana pucuk-pucuk entéh nu ting arulang katebak angin leutik… Juragan kawasa ngarénghap. Ditumbu ku marahmay raray. Kawasang, narawangan Kota Amsterdam, katut gedong-gedongna nu sigrong.

Pindah kana anduk-anduk nu perentul antara rungkun-runkun entéh. Katingali lebah pundukna ka luhur, sirah-sirah bujang petik nu dikurudung anduk. Katut leungeun-leungeunna nu baraseuh teu eureun-eureun metikan pucuk entéh. Leukeun diitung.... Tilu ratus hulu. Anjeunna uninga kabéh gé éta téh bujang petik. (49-50)

Pagi itu Tuan Kuasa pergi meronda. Celana pendek dril. Diputis, bersepatu kebun. Berbaju tebal memakai pet wol. Sal melilit menghalangi dinginnya udara gunung. Membawa tongkat sambil mengisap cerutu karl-in....

Juragan Kuasa berdiri di puncak bukit. Memandang jauh ke seluruh jagad kebun teh yang telah dipotong rata.... Tersenyum simpul, matanya berkedip, sambil mengisap udara gunung. Terbebaslah suluruh masalah yang menyelimuti dirinya.

Pandangannya pindah ke pucuk-pucuk teh yang bergoyang tertiup angin kecil.... Juragan Kuasa menarik nafas. Dilanjutkan dengan wajah cerah. Terbayang, Kota Amsterdam yang terbuka luas, dengan gedung-gedungnya yang megah.

Pindah kepada tengkuk-tengkuk yang muncul dari balik rumpun teh. Tampak dari tengkuk ke atas, kepala-kepala bujang petik yang berkerudung handuk. Dengan tangan-tangannya yang basah tak henti-hentinya memetik pucuk teh. Dihitung dengan teliti.... Tiga ratus kepala. Ia tahu semuanya bujang petik.

Kebon entéh neba satungtung deuleu masih ditapuk ku pepedut…. Tapi awéwé-awéwé nu disarung sasemet tuur, sukuna taranjang, dikutang dibaju kurung, nyoréndang kantong lawon paranti nyimpen pucuk entéh, kaluar ti bédéng bari nangkeup harigu tiriseun. Terus ngaleut ngabandaleut nembus pedut nyusup angin gunung mapay jalan nyerbu pucuk-pucuk entéh nu masih kénéh baseuh ku ciibun. Geusan panghalang képrétan cai nu kabawa ku pucuk-pucuk entéh nu dipetik, ngéprét kana buuk, sirahna dikarimbun anduk nuruban ceulina. Ongkoh ngarah haneut. Eta awéwé-awéwé téh di kontrak mah disebutna, bujang petik

Leungeun ramo jeung panon geus teu kudu sili tanya kumaha kuduna. Geus tara nyalahan deui gap jeung peta metik 3-5 lambar! (48-49)

Kebun teh yang terhampar sangat luas masih diselimuti kabut .... Tetapi perempuan-perempuan yang berkain sarung sebatas lutut, bertelanjang kaki, berbeha berbaju kurung, dan berselendang kantung kain untuk menyimpan pucuk teh, keluar dari bedeng sambil bersedekap kedinginan. Terus berjalan beriringan menembus kabut menantang angin gunung menyusuri jalan menyerbu pucuk-pucuk teh yang masih berbasah embun. Untuk menghalangi cipratan air yang terbawa dari pucuk-pucuk teh yang dipetik dan membasahi rambut, mereka membalut kepalanya dengan handuk yang menutupi daun telinganya. Supaya hangat. Di daerah kontrak perempuan-perempuan itu desebut bujang petik.

Tangan, jari dan mata sudah tidak lagi saling bertanya mesti bagaimana. Sudah tak salah lagi memegang dan memetik 3-5 lembar!

Dari dua kutipan di atas tampak jelas bagaimana tubuh digambarkan. Yang pertama adalah gambaran tubuh individu TK, sedangkan yang kedua merupakan gambaran sekelompok bujang petik. Yang pertama digambarkan dengan tubuh yang dibalut dengan sepatu kebun, celana pendek dril, baju dan pet yang terbuat dari wol, cerutu dan tongkat. Sementara yang kedua digambarkan dengan kain sarung sebatas lutut, telanjang kaki, yang berselendang kantung kain wadah teh serta tubuh-tubuh yang berjalan menenbus kabut dengan menggigil kedinginan. Jika yang pertama digambarkan berada di puncak bukit dan memiliki pandangan yang sangat luas: ke seluruh jagat kebun teh, ke kota Amsterdam ke semua kepala bujang petik yang berjumlah tiga ratus. Yang kedua digambarkan hanya mampu memandang secara otomatis kepada pucuk-pucuk teh yang akan dipetik. (Tangan, jari dan mata sudah tidak lagi saling bertanya mesti bagaimana. Sudah tak salah lagi memegang dan memetik 3-5 lembar!). Dari gambaran ini tampak bahwa kekuasaan dan ketertindasan membentuk tubuh. Artinya, bukan hanya berpengaruh pada bentuk atribut yang dikenakan tubuh tapi bagaimana cara tubuh itu ditempatkan dan difungsikan.

Yang lebih menarik lagi dalam hubungannya dengan tubuh adalah siapa yang berhak atas tubuh. Meskipun Mandor dan kedua Polisi memiliki tubuh dan jiwa sendiri, tetapi ia tidak berhak atas tubuhnya. Ketika mereka membawa Sahlan –ayah Nyi Onah- secara paksa dan dengan kekerasan ke hadapan TK, mereka mendapat hukuman dari TK. Mereka dihukum oleh TK dengan cara saling memukul.

Kolonialisme jelas tidak hanya berurusan dengan penguasaan tanah tetapi dengan manusia –dengan tubuh-tubuhnya. Bagi seorang Tuan Kawasa tubuh-tubuh para pekerja tak lebih dari mesin-mesin produksi atau alat pemuas kebutuhan napsu di saat dahaga dan kemudian melupakannya. Untuk hal yang kedua ini nampak dari keinginan TK untuk menjadikan Nyi Onah menjadi seorang nyai. Akan tetapi, ketika datang kabar dari istrinya bahwa ia akan segera datang keinginan itu lantas terlupakan begitu saja.

4. Penutup

Tentu saja, banyak hal yang menarik dari cerpen TK untuk dikaji dengan teori pascakolonial –misalnya yang berkaitan dengan gender. Akan tetapi, kajian-kajian yang lain membutuhkan tempat yang lebih luas. Dalam tulisan ini saya hanya ingin membuktikan bahwa kolonialisme dan imperialisme tidak hanya bersangkut paut dengan perjuangan penguasaan atas tanah, tetapi atas bahasa dan tubuh. Hingga akhirnya kekuasaan atas bahasa dan tubuh ini seorang-olah sudah taken for granted atau sudah menjadi sesuatu yang yang berkembang secara alamiah.



[1] Dalam buku Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 13) yang diterjemahkan oleh Yuliani Liputo dari buku Culture and Imperialism (1993).

[2] Keterangan mengenai Tjaraka diambil dari kata pengantar Ajip Rosidi “Kahirupan Sosial Urang Sunda dina Carita-carita Tjaraka (Wiranta)” (Kehidupan Sosial Orang Sunda dalam Cerita-cerita Tjaraka [Wiranta]) dalam buku Kumpulan Cerpen Awéwé Dulang Tinandé.

[3] Dijelaskan oleh Faruk dalam pelatihan Teori Postkolonial pada kegiatan Pelatihan Teori Sastra yang diselenggarakan oleh Program Studi Sastra, Fakultas Sastra Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tanggal 17 Juni – 29 Juni 2002 di Yogyakarta.

[4] Saya menyebut ragam kacau karena ragam bahasa ini mencampuradukkan ragam loma dan lemes.

[5] Dalam pascakolonialisme, keaslian merupakan salah satu hal yang digugat.

Komentar