Textbook Thinking dan Facebook Thinking di Lingkungan Akademik

Teddi Muhtadin

Istilah textbook thinking pada awalnya, mungkin, bersifat netral. Tetapi, sekarang dimaknai negatif. Istilah ini kini bermakna cara perpikir yang tidak mau keluar dari zona nyamannya atau sangat patuh pada textbook. Alias tidak out-of-the-box. Makna inilah yang dipakai oleh Presiden Soekarno untuk menyerang lawan-lawan politiknya.

Dari textbook thinking ini saya mengandaikan adanya istilah facebook thinking yang mengacu pada cara berpikir menurut atau yang sesuai dengan cara-cara yang dilakukan facebook. Misalnya, lebih cenderung berupa obrolan daripada diskusi, bahasa tulis yang digunakan umumnya tidak baku. Walaupun begitu, facebook adalah sebuah media komunitas terbesar di dunia. Dan, salah satu pengguna terbesarnya ada di Indonesia.

Yang membedakan antara textbook thinking dan facebook thinking, tentu saja, text dan face. Tetapi bukan hanya itu, textbook thinking mengacu pada tradisi tulis, sedangkan facebook thinking mengacu kepada tradisi virtual. Tradisi tulis merupakan tradisi yang berkembang setelah tradisi lisan. Dengan demikian, kita dapat melihat alur perkembangan tradisi berdasarkan medium yang digunakannya, yakni tradisi lisan, tulisan, dan virtual.

Dalam tradisi lisan, puisi dan mitos memegang peranan penting. Seorang juru pantun yang mampu mengingat cerita dalam jumlah banyak sangat dihargai. Di sini pencipta tidak penting. Sebuah karya didedikasikan kepada khalayak. Sebaliknya, dalam tradisi tulisan prosa lebih berkembang. Cara berpikir analitis dan kritis sangat berkembang. Pengarang lahir, orisinalitas dihargai, dan peniruan dibenci. Adapun dalam tradisi virtual yang dipentingkan adalah citra. Di sini, tradisi lisan dan tulisan diciptakan kembali dan disesuaikan dengan tradisi virtual.

Dalam tulisan ini saya ingin mempertimbangkan kembali istilah textbook thinking yang sudah terlanjur dipahami secara negatif dengan cara menghadapkannya dengan istilah facebook thinking yang kini berjaya. Kedua istilah ini saya bawa ke ranah akademik.

Ada satu pernyataan dari Neil Postman yang menunjukkan bahwa cara yang dipakai untuk mengadakan konversasi sangat menentukan gagasan macam apa yang dapat dikemukakan. Dalam kalimat lain ia menyatakan bahwa bentuk konversasi menyeleksi substansinya. Dengan demikian, memilih textbook atau facebook bukan sesuatu yang sederhana karena keduanya berkaitan dengan substansi media tersebut.

Tradisi ilmiah yang analitis dan kritis tidak mungkin dibangun menggunakan puisi. Puisi sangat optimal berkembang dalam tradisi lisan. Begitu pula budaya ilmiah hanya mungkin berkembang secara optimal jika dibangun dalam medium prosa.

Dunia akademis sebenarnya adalah perwujudan dari tradisi tulis. Contohnya, di lembaga akademis, mahasiswa diseleksi secara tertulis, dicatat di dalam daftar, dan ketika lulus mereka diberi ijazah sebagai bukti tertulis. Lembaga akademis, mensyaratkan kelulusan mahasiswanya dengan skripsi, tesis atau disertasi. Dalam karya ilmiah tersebut hasil penelitian dituliskan dalam susunan dan bahasa tertentu. Bagaimana cara mengutip, menuliskan sumber kutipan, sudah diatur secara konvensional. Sebagai perwujudan budaya tulis, lembaga akademis juga dilengkapi dengan perpustakaan yang memadai dan juga penerbitan. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang melakukan plagiat di lembaga ini, mungkin karena cara berpikirnya masih berada pada tradisi lisan.

Akan tetapi, tidak berarti dalam dunia akademik tidak ada budaya lisan. Budaya lisan tetap ada, namun budaya itu sudah re-kreasi dalam budaya tulis. Banyak kegiatan di perguruan tinggi semacam kuliah, orasi ilmiah atau seminar hanya pelisanan kembali sesuatu yang telah dituliskan.

Lalu, bagaimana dengan tradisi virtual di lembaga akademis?

Sekarang, hampir semua lembaga akademis dilengkapi dengan jaringan internet. Pengeloaan informasi dalam dunia virtual menjadi salah satu penilaian yang prestisius. Dan, jika tradisi tulis mampu menciptakan kembali tradisi lisan; begitu pun tradisi virtual, ia mampu menciptakan kembali tradisi tulis.

Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh Neil Postman, bahwa bentuk konversasi menyeleksi substansinya, maka, menurut hemat saya, meskipun tradisi virtual ini dapat me-rekreasi tradisi lisan dan tulisan, tetapi memiliki keterbatasan. Sebab, yang penting dalam tradisi virtual bukan prosa panjang yang analitis dan kritis, tetapi citra yang menghibur. Oleh karena itu, uraian analitis di dalam prosa panjang menjadi sesuatu yang mustahil. Namun, bukan berarti di dalam tradisi virtual tidak ada novel panjang, historiografi, atau puisi. Semuanya tersedia, tapi bukan itu yang utama.

Menurut hemat saya, membangun tradisi ilmiah di lingkungan akademik perlu mempertimbangkan kembali tradisi tulis yang telah melahirkan lembaga ini. Di sini, textbook thinking perlu dipertimbangkan atau diapresiasi kembali. Karena cara berpikir inilah yang telah memungkinkan tradisi ilmiah yang kritis dan mendalam lahir.

Singkatnya, setelah masuk ke facebook thinking kita perlu kembali ke textbook thinking.

Komentar