Tubuh, Erotisme, dan “Kompleks Cinta Romantis”: Penggambaran Seksualitas Perempuan dalam Lima Novel Sunda Karya Pengarang Pria*

1

Berdasarkan pengalaman saya tahu bahwa seks dalam masyarakat Sunda seperti orang mandi di dalam jamban di kampung-kampung: dibatasi tetapi tidak tertutup benar. Oleh karena itu, orang luar masih bisa mencium baunya, mendengar kecipak airnya, atau melihat bagian-bagian tubuhnya. Akan tetapi, dengan berubahnya waktu serta datangnya pengaruh luar yang silih berganti gambaran itu pun berubah. Seperti jamban yang tadinya berada di tepian sungai, mata air atau kolam serta merupakan bagian dari tempat umum, kini seks telah masuk ke rumah-rumah dan memiliki pintu-pintu yang tertutup.

Dalam sebuah perjalanan ke Desa Kanekes bersama para mahasiswa, beberapa bulan yang lalu, kami terlibat dalam obrolan dengan orang-orang Baduy seputar adat-istiadat mereka. Waktu itu Pak Sanati dari kampung Cikadu, sebagai pribumi, memohon maaf karena setiap hari harus meninggalkan kami. Pagi-pagi benar ia sudah pergi ke ladang dan pulang ketika malam telah tiba. Hal itu dilakukan untuk menjaga tanaman padinya agar tidak diserang kera-kera yang datang dari hutan lindung. Pak Sanati mengatakan bahwa kera-kera itu hanya takut kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Seorang mahasiswa bertanya, mengapa kera-kera itu hanya takut kepada laki-laki, tidak kepada perempuan? Si pribumi tidak menjawab, tetapi teman Pak Sanati, Pak Samani, sambil tersenyum ikut nimbrung, “Sabab lalaki mah boga péstol, awéwé mah ngan boga martabak doang.” (Laki-laki punya pistol, sedangkan perempuan hanya punya martabak).

Perbedaan laki-laki dan perempuan pertama-tama, tentu saja, merupakan perbedaan biologis. Akan tetapi, ketika laki-laki diandaikan memiliki pistol dan perempuan hanya memiliki martabak hal itu sudah merupakan konstruksi budaya. Ada banyak hal yang bisa dimaknai dari jawaban Pak Samani tersebut: pistol adalah senjata, martabak adalah makanan; secara ikonis pistol mengacu pada alat kelamin laki-laki, martabak mengacu pada alat kelamin perempuan. Mengapa laki-laki dibandingkan dengan pistol yang kaku, keras dan dapat me-nembak (aktif), sedangkan perempuan dibandingkan dengan makanan yang enak untuk di-makan (pasif)? Penting pula dimaknai siapa yang menyampaikan pernyataan itu: laki-laki atau perempuan? Kepada siapa pernyataan itu disampaikan: kepada laki-laki atau perempuan? Jika Pak Samani berbicara di hadapan perempuan apakah jawabannya akan berubah? Apakah jawaban seperti itu bisa keluar dari mulut seorang perempuan? Dalam konteks apa? Dalam suasana bagaimana?

2

Tulisan ini akan memfokuskan diri pada penggambaran seksualitas perempuan oleh pengarang laki-laki dalam novel Sunda. Dalam kehidupan sastra Sunda pengarang novel berjenis kelamin laki-laki itu dominan. Sejak Baruang ka nu Ngarora (Racun bagi Kaum Muda, 1914) karya D.K. Ardiwinata hingga Pangantén (Pengantin, 2003) karya Dédén Abdul Aziz, kecuali beberapa orang saja, semuanya laki-laki. Pengarang perempuan sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu ialah Suwarsih Djojopuspito, Ningrum Djulaeha, Aam Amilia, dan Holisoh M.E.. Walaupun para penulisnya adalah laki-laki, cerita-cerita yang disajikannya tetap saja tentang laki-laki dan perempuan. Malahan, bisa dikatakan bahwa, kecuali dalam novel Pangantén karya Dédén Aziz, tokoh-tokoh dan para pencerita novel Sunda umumnya adalah laki-laki atau perempuan “tulen”. Jika yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan “tulen” itu heteroseksual, bukan mereka yang memiliki kecenderungan seks menyimpang, semacam homoseksual atau biseksual.

Menganalisis seluruh novel Sunda karya pengarang laki-laki dalam waktu yang singkat adalah mustahil. Oleh karena itu, jalan yang saya tempuh ialah dengan membaca kembali novel-novel yang dianggap “kanon”, paling tidak yang sudah mendapatkan pengakuan baik dari kritikus maupun penghargaan dari lembaga-lembaga yang memiliki perhatian besar terhadap sastra Sunda. Namun, itu pun tidak semuanya. Saya hanya memilih lima novel yang umumnya, kecuali satu novel, memiliki penggambaran seks dan erotisitas yang menonjol. Saya mengakui jika pemilihan kelima novel yang dibicarakan ini lebih kental unsur subjektivitasnya.

Kelima novel yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah Lain Éta (Bukan yang Itu) karya Moh. Ambri (terbit pertama kali tahun 1932), Pipisahan (Perceraian) karya R.A.F. (1977), Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati (Asmaramurka dan Golok Si Rajapati) karya Ahmad Bakri (1987), Galuring Gending karya Tatang Sumarsono (2001), dan Pangantén (Pengantin) karya Dédén Abdul Aziz (2003).

Seperti yang sudah diisyaratkan pada paragraf ketiga, dalam menganalisis novel-novel karya pengarang laki-laki tersebut saya akan memanfaatkan kaidah-kaidah naratologi. Paling tidak, ada enam pertanyaan yang ingin saya jawab. Pertama, bagaimana seksualitas perempuan digambarkan? Kedua, Siapa yang menyampaikan gambaran itu? Ketiga, dengan siapa kita turut memandang gambaran itu? Keempat, kepada siapa gambaran itu disampaikan? Kelima, dalam konteks apa gambaran seksualitas itu ditempatkan? Keenam, apakah makna yang muncul dari penggambaran seksualitas seperti itu? Pertanyaan pertama mengacu pada deskripsi seks dan seksualitas perempuan di dalam teks novel. Pertanyaan kedua mengacu kepada siapa penceritanya: laki-laki atau perempuan? Pertanyaan ketiga, bagaimana fokalisasi[1] dilakukan? Pertanyaan keempat mengacu kepada siapa pendengar cerita itu: laki-laki atau perempuan? Pertanyaan kelima mengacu pada penempatan seks dan seksualitas pada konteks cerita. Dan, pertanyaan keenam mengacu pada makna ideologis yang menghidupi gambaram seksualitas perempuan dalam konteks yang lebih luas.

Berbicara mengenai seksualitas bertalian dengan seks dan gender. Untuk menjelaskan ketiga istilah ini saya mengacu pada tulisan Gus dan Ruby yang berjudul “Ketika Seksualitas jadi Isu Publik”. Menurut mereka, seks adalah keadaan anatomis manusia: seseorang yang memiliki anatomi penis disebut laki-laki, sedangkan yang memiliki anatomi vagina disebut perempuan. Seks merupakan sesuatu yang terberi atau merupakan takdir Tuhan, sedangkan gender lebih menekankan pada aspek sosial. Jika seks merupakan jenis kelamin fisik, maka gender merupakan jenis kelamin sosial karena dibentuk melalui konstruksi sosial. Seksualitas maknanya mencakup seks dan gender. Perbedaan di antara seks, gender dan seksualitas terletak pada orientasinya. Jika seks berorientasi fisik-anatomis dan gender berorientasi sosial, maka seksualitas berorientasi pada kompleksitas dari dua jenis orientasi sebelumnya, sejak dari fisik, emosi, sikap, bahkan moral dan norma-norma sosial. Karena begitu kompleksnya lingkup seksualitas, maka sangat beralasan jika ia menjadi “ruang transfer” yang penuh sesak oleh “relasi-relasi kuasa”: melalui energi besar yang dihasilkannya, seksualitas dapat dijadikan fokus kontrol sosial (Foucault dalam Giddens, 2003: 24).

3

Novel Sunda ditulis pertama kali oleh D.K. Ardiwinata, seorang keturunan Sunda-Bugis. Ia seorang lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) Bandung tahun 1884 yang kemudian menjadi redaktur kepala pada Commisie voor Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat, 1911-1917) di Jakarta (Kartini dalam Rusyana, 1979: 168). Setelah penerbitan novel tersebut selama empat belas tahun tak ada lagi novel Sunda yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kekosongan ini diisi oleh para penerbit swasta, di antaranya Boekhandel Krakatau, Dachlan Bekti dan Kusradie (Rusyana, 1079: 168-169). Pengarang-pengarang yang menerbitkan bukunya melalui penerbit swasta ini di antaranya Muhamad Sanusi dan Yuhana (lulusan MULO). Menurut Rusyana (1979: 169) karya-karya mereka mendapat sambutan yang baik di masyarakat. Menurut Ajip Rosidi (1986: 3-4) novel-novel karya Muhamad Sanusi dan Yuhana, yang biasa disebut roman “liar”, memiliki tema penanaman kesadaran nasional dan cinta tanah air. Namun, Ajip Rosidi juga menyatakan bahwa karya-karya mereka jarang dijadikan bahan pengajaran di sekolah. Ia menduga alasannya karena temanya bertentangan dengan kepentingan kolonial. Dan, kepada karya Yuhana, ia menyatakan bahwa para moralis dan sebagian guru telah mencapnya sebagai karya yang “kasar” dan “jorang”; para ahli bahasa malah menyebut pemakaian bahasa Sundanya jelek.

Empat belas tahun sejak penerbitan novel pertamanya barulah muncul kembali dari penerbit Balai Pustaka sebuah novel karya R. Memed Sastrahadiprawira berjudul Mantri Jero (Mantri Dalam). Pangarang ini adalah lulusan OSVIA Bandung yang bekerja di lingkungan kepamongprajaan (1919-1928), dan kemudian menjadi pegawai Balai Pustaka, terakhir menjadi adjuncttaalkundige, ahli bahasa (Hadish dalam Rusyana, 1979: 166).

Dengan mempertimbangkan awal kelahiran novel Sunda ini dapat dilihat bahwa novel Sunda merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi kesusastraan Sunda. Walaupun masih tampak jejak-jejak tradisi sastra sebelumnya, misalnya masih ditemukan dangding dalam novel, namun bercerita dalam bentuk bahasa prosa merupakan sesuatu yang berbeda dengan bercerita dalam bentuk dangding pada wawacan. Novel Sunda ditulis dalam hurup latin dan para pengarangnya adalah lulusan sekolah Belanda. Novel Sunda adalah bagian dari tradisi tulis yang didorong oleh pemerintah Kolonial untuk menyediakan bahan-bahan bacaan bagi kaum pribumi yang terdidik. Meskipun terjadi perbedaan antara karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan penerbit-penerbit swasta, namun novel Sunda berasal dari akar yang sama, yakni akar yang dihidupi oleh Politik Etis Belanda awal abad XX, yang berbeda dengan ideologi sebelumnya. Yang dimaksud dengan ideologi di sini adalah keyakinan, makna dan praktik yang menjadi dasar perilaku dan pikiran (Macdonnell dalam Helwig, 2003:16).

4

Saya akan mulai pembicaraan mengenai gambaran seksualitas perempuan dengan membaca novel Lain Éta (Bukan yang Itu) karya Moh. Ambri. Menurut informasi dalam Ensiklopedi Sunda (2000) novel ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1932. Agak mengherankan, memang, novel yang memuat adegan yang erotis ini justru muncul dari penerbit Balai Pustaka. Padahal, meskipun dalam tradisi lisan erotisme itu sering muncul bukan hanya dalam obrolan[2] bahkan dalam tablig-tablig, dan pengajian[3]; namun dalam tradisi tulis hal tersebut tidak mudah diterima. Selain para guru yang menganggap jorang karya-karya Yuhana, seperti yang dicatat Ajip Rosidi, cerpen-cerpen Dedy Windyagiri pun pernah mendapatkan tanggapan serupa[4]. Malah, novel Lain Éta yang dimuat kembali mulai pertengahan bulan Mei 1996 dalam majalah Manglé sebagai cerita bersambung, adegan-adegan erotisnya dipotong, padahal novel itu sudah berumur waktu 64 tahun sejak penerbitannya yang pertama[5].

Moh. Ambri[6] (Sumedang, 8 September 1892-Jakarta 5 April 1936) adalah seorang guru yang kemudian menjadi redaktur kepala Bahasa Sunda di balai Pustaka. Selama menjadi redaktur kepala, selama kurang lebih lima tahun, ia telah menerbitkan 22 judul buku berbahasa Sunda, baik asli maupun terjemahan atau saduran. Satu di antara novelnya adalah Lain Éta. Untuk novel ini Ensiklopedi Sunda (2000) mencatatnya sebagai mutiara yang cemerlang dalam khazanah kesusastraan Sunda. Dan, karena ketangkasannya dalam menggunakan bahasa Sunda sehari-hari yang penuh dengan asosiasi, novel ini dianggap merupakan karya sastra yang paling sukar diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Novel Lain Éta bercerita tentang kisah kasih yang tak sampai. Neng Eha yang cantik jelita anak seorang Kalipah Kota Cianjur jatuh cinta kepada Mahmud yang berasal dari Sukabumi. Lamaran Mahmud ditolak ayah Neng Eha dengan alasan bukan keturunan Bangsawan (Raden), meskipun orang tua Mahmud berkecukupan dan ia sendiri seorang yang terpelajar. Neng Eha kemudian dikawinkan dengan duda yang sudah beranak dan berumur jauh di atasnya. Kehidupan perkawinan Neng Eha dengan sumainya sering kali dihiasi dengan pertengkaran. Ia sering minggat, hingga kemudian bertekad tidak kembali lagi kepada suami. Untuk menenangkan pikirannya Neng Eha lalu tinggal di rumah pamannya, di Bandung. Ketika ayah dan suaminya menyusul ke rumah pamannya Neng Eha pergi. Ia berusaha mencari rumah Tuan Kusumah, sahabat pamannya, tetapi tidak ditemukan, padahal malam sudah mulai larut. Pada saat itulah datang laki-laki yang bernama Den Kosim menawarkan diri untuk memberi pertolongan.

Pada saat itulah terjadi adegan-adegan erotis antara Den Kosim dengan Neng Eha. Pencerita menggambarkan adegan itu sebagai berikut:

Panangan Neng Eha dicepeng ku panangan tengen, panangan kiwa morosot, pel meulit kana angkeng lenggik. Srod ka luhur, pel kana buah koldi. Digugunyeng ku Neng Eha sina lesot kalah beuki cepel lain pukah-pukaheun tanaga istri. (91)

Tangan Neng Eha dipegang dengan tangan kanan, tangan kiri bergerak ke bawah, membelit pinggang yang ceking. Lalu bergerak ke atas, meraba buah kholdi. Neng Eha berusaha melepaskannya tapi malah kian erat, tenaga perempuan tak akan mampu melepaskannya.

Pada adegan ini tangan Den Kosim yang kuat digambarkan sedang menjamah bagian-bagian tubuh Neng Eha. Tangan Neng Eha berusaha menolaknya tapi tak kuasa mencegahnya. Yang menarik dari adegan ini adalah penyebutan bagian-bagian tubuh Neng Eha oleh si pencerita yaitu “tangan”, “pinggang” dan “buah kholdi”, padahal si laki-laki hanya digambarkan dengan tangannya saja. Bagian-bagian tubuh Neng Eha digambarkan sebagai objek yang pasif. Laki-laki adalah tangannya; perempuan, selain tangan, adalah pinggang dan buah kholdinya. Tangan adalah kepanjangan dari hati dan pikiran. Tetapi, tangan laki-laki berbeda dengan tangan perempuan. Yang satu kuat yang lainnya lemah dan tak berdaya. Perempuan juga digambarkan dengan pinggang dan buah dadanya. Pinggang dan buah dada juga adalah organ yang pasif. Adapun majas buah kholdi mengingatkan saya pada buah terlarang dalam kisah Adam dan Hawa. Dari kisah itu kita tahu mengapa Adam terusir dari sorga dan kemudian hidup di dunia. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tubuh perempuan yang sedang mengalami ketertindasan macan Neng Eha dibandingkan dengan kata “kholdi” yang memancarkan aroma dosa?

Adegan berikutnya begini:

Pameget téh geus mabok, kamanala hurung muntab-muntab. Néng Éha digaléntor, adug-adugan ieuh-ieuhan, babalieuran, atuh rarayna kaseuseuh kabéh, tungtungna pel paadu lambey, mani léngkét. Puas pisan nepi ka digemolna. (91-92)

Laki-laki itu sudah mabuk, api berahinya menyala-nyala. Neng Eha digumuli, memberontak menolak, membuang muka, tapi malah mukanya dilumat habis, akhirnya bibir bertemu bibir, sungguh lengket. Sangat puas hingga dikulumnya.

Di sini laki-laki digambarkan dengan napsunya yang menyala-nyala yang membuat si perempuan tak berdaya. Tepatnya, ketika terjadi pergumulan hanya laki-lakilah yang merasa puas. Saya paham, tentu saja, bahwa erotisme yang terjadi antara Neng Eha dan Den Kosim ini ditempatkan pada konteks pelecehan seksual, bukan pada hubungan suka sama suka. Oleh karena itu, hubungan seksualitas laki-laki dan perempuan menjadi sangat hierarkis: yang satu penguasa, yang satunya lagi adalah yang dikuasai. Namun, sebelum meneruskan pemahaman hubungan hierarkis ini, mari kita perhatikan adegan erotis berikutnya dengan talar rumah Den Kosim. Adegan tersebut terjadi setelah Neng Eha dan Den Kosim tidak menemukan rumah Tuan Kusumah yang mereka dicari karena alamatnya tidak jelas dan gelap gulita. Den Kosim kemudian mengajak Neng Eha menginap di rumahnya. Adegan tersebut digambarkan oleh pencerita seperti ini:

Pes damar tengah dipareuman, kari caang meueusan ti kamar pajuaran. Dén Kosim teu sasauran deui, ngan Néng Éha rada nangis.

“Alim Juragan, aduh tobat Gusti, saumur nembé nyorang dicandak ku nu teu wawuh. Aduh Juragan, sing Emut, dosa. Aduh Gusti, abdi ampun. Sing émut Juragan, na teu lingsem. Abdi téh gaduh salaki.”

Dén Kosim: “Panginten Engkang léngoh.” (95)

Lampu di ruang tengah dipadamkan, tinggal cahaya remang-remang dari kamar tidur. Den Kosim tidak berkata-kata lagi, hanya Neng Eha menangis kecil.

“Tak mau Tuan, oh Tuhan, seumur hidup baru sekarang saya dibawa oleh orang yang tidak dikenal. Aduh Tuan, sadarlah, dosa. Oh Tuhan, ampunilah saya. Sadarlah Tuan, apakah Tuan tak malu. Saya ini punya suami.”

Den Kosim: “Kukira kamu tidak punya suami.”

Yang menarik dari kutipan ini adalah kata-kata yang diucapkan Neng Eha kepada Den Kosim, ketika ia dipaksa untuk melakukan hubungan badan (diperkosa): “Abdi téh gaduh salaki.” (Saya ini punya suami). Ia lari dari suami karena tidak mencintainya. Tetapi, bersuami dengan laki-laki yang tidak disukai jauh lebih baik daripada dilecehkan oleh laki-laki asing yang baru dikenalnya. Suami diyakini oleh Neng Eha sebagai pelindungan terakhir, walaupun secara fisik berjauhan.

Ketiga peristiwa itu diceritakan oleh pencerita ekstern-primer, yaitu pencerita pertama yang berada di luar diri para tokohnya; dan difokalisasi oleh pencerita sendiri. Jadinya berupa pencerita primer-fokalisator. Melalui pencerita primer-fokalisator inilah kita turut memandang peristiwa, tokoh-tokoh atau suasana. Akan tetapi, meskipun teknik penceritaan ini mengandaikan sebuah jarak, gambaran ketiga peristiwa tadi tidaklah netral. Gambaran ketiganya sudah mengandung opini dan visi tertentu.

Dalam novel seperti ini kita tidak terlalu sulit untuk melihat opini dan visi, khususnya yang berkaitan dengan seksualitas perempuan, yang melandasi sebuah peristiwa. Melalui komentar-komentar yang disampaikan pencerita primer-fokalisator kita diberi tahu bagaimana seksualitas Neng Eha ditimbang dalam penilaian moral tertentu. Komentar ini dikutip dari bagian 7 “Babalik Pikir” (Insyaf), yakni ketika Neng Eha hidup serumah dengan Den Kosim tanpa ikatan pernikahan:

Ku sepuhna geus teu diangken, pangpangna ramana teu keresaeun kadatangan. Ku carogé teu dipaduli, ditalak henteu, da nusud. Henteu lepat carogéna, diala, disuratan, dipapagkeun, ditéangan, manan nurut kalah ulas-iles, meujeuhna ditambang téh. Keur aya di sepuhna mah, henteu diantep, saban bulan dikintunan. (hlm. 98)

Orang tuanya tidak mau menerima, terutama ayahnya tidak mau didatangi. Suaminya tidak memperdulikannya, tidak dilatak, karena minggat. Bukan salah suaminya, disusul, diberi surat, dijemput, dicari, daripada menuruti malah pergi, ditambang pun wajar. Ketika masih tinggal di rumah orang tuanya, ia tidak ditelantarkan, setiap bulan dikirimi. (Ditambang: dibiarkan tidak diberi uang belanja, tetapi tidak ditalak).

Si pencerita primer-fokalisator dalam komentar ini mengindentifikasikan diri dengan suami Neng Eha. Ia membenarkan perilaku suami Neng Eha yang menelantarkannya dan menilai keadaan Neng Eha sekarang sebagai akibat yang wajar dari perbuatan jeleknya. Lain halnya ketika Neng Eha sudah insyaf. Si pencerita primer-fokalisator berkomentar bahwa Neng Eha, yang sudah menjadi janda itu, perilakunya seperti santri: yang dilakukannya hanya beribadah seperti waktu masih gadis. Ketika digambarkan ada orang yang menegurnya, si janda tersebut menjawab, “Keur kieu dikadarkeunana, teu tiasa ngalalangkungan Nu Kawasa. Ka payun kari kumaha Nu Ngersakeun.” (Beginilah sekarang takdir saya, tidak bisa melebihi Yang Kuasa. Ke depan terserah Yang Berkehendak saja).

Kalimat yang diucapkan oleh Neng Eha ini ditempatklan di ahir novel. Oleh karena itu, saya menganggapnya kalimat ini sangat penting. Dalam bagian akhir novel pencerita membandingkan Neng Eha yang sudah janda itu dengan keadaan ketika ia masih gadis. Kedua-duanya sama rajin beribadah. Ketika ditanya kenapa sikapnya seperti itu, ia menjawabnya karena ditakdirkan Tuhan. Saya melihat keselarasan antara takdir Tuhan dengan perilaku Neng Eha ketika gadis dan janda. Kalau begitu, ada keselarasan antara Takdir Tuhan dengan keinginan orang tua. Lalu, bagaimana ketika ia menolak keinginan orang tua? Ia berada dalam keadaan bahaya. Dapatkan hal ini dimaknai bahwa keinginan orang tua atau suami itu sama dengan kehendak Tuhan? Kalau bisa, maka kehendak sendiri tak boleh dilakukan, karena akan membawa malapetaka.

Jika pemaknaannya seperti itu, maka Neng Eha tak memiliki hak atas dirinya. Dirinya: tubuh dan jiwanya adalah milik ayah dan suaminya. Lewan pencerita primer-ekstern yang pro suami (laki-laki), seks dan sekualitas Neng Eha merupakan objek yang terus dikontrol dan ditimbang dengan ukuran moral yang ketat, yakni moral agama. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa seks dan erotisitas Neng Eha dihadirkan untuk kemudian dihakimi secara moral.

Selain itu, jika kita memperhatikan ruang tempat terjadinya peristiwa maka ada semacam identifikasi antara tubuh perempuan dengan rumah. Secara seksual rumah adalah tempat yang aman. Yang dimaksudkan dengan rumah di sini adalah rumah orang tua dan suami. Rumah yang aman, tertutup dan melindungi. Dunia luar adalah liar, sangat berbahaya[7]. Bukankah di jalan Neng Eha dilecehkan dan di rumah Den Kosim ia dicoba diperkosa? Karena itu, seksualitas harus diletakkan pada rumahnya, alias pada ranah domestiknya. Dunia luar rumah atau di ranah publik, seksualitas perempuan berada dalam bahaya.

5

Novel kedua yang ingin saya diskusikan adalah novel Pipisahan (Perceraian, 1977) karya R.A.F. (Rahmatullah Ading Affandie). Ia dilahirkan di Banjarsari, Ciamis tanggal 2 Oktober 1929. Pendidikan yang diikutinya ialah HIS Tasikmalaya, Pesantren Islam Miftahulhuda Ciamis, Sekolah Pertanian Menengah Tasikmalaya, SMA Bandung dan Fakultas Hukun Universitas Indonesia sampai sarjana muda. Dalam sastra Sunda ia banyak menulis naskah sandiwara, gending karesmen, dan menjadi sutradara. Bukunya dalam bahsa Sunda berbetuk cerita anak, drama, cerpen, biografi, dan novel. Pernah mendapatkan Hadiah Sastra Sunda Rancage untuk novelnya berjudul yang Nu Kaul Lagu Kaléon (Yang Berkaul dengan Menyanyikan Lagu Kaleon) tahun 1991. Akan tetapi, yang dibahas dalam tulisan ini adalah novel Pipisahan.

Berbeda dengan Lain Éta, novel Pipisahan menggunakan pencerita ekstern-primer dan pencerita intern-sekunder. Keduanya menggunakan persona pertama “kuring” sebagai penceritanya. Fokalisator ekstern-primer adalah “kuring” (aku) yang sudah memiliki cucu, sedangkan fokalisator intern-sekunder adalah “kuring” (aku) pada saat membesarkan anak-anak, seusai perceraian. Fokasisator ekstern ini membentuk cerita tersendiri di bagian akhir novel, ketika ia bercerita kepada anak-anaknya yang sudah berkeluarga tentang perjalanan hidupnya di masa lalu. Terhadap peristiwa itu sebenarnya fokalisator ekstern-primer ini telah berubah menjadi fokalisator intern-primer. Akan tetapi, dalam pembahasanan ini hal tersebut diabaikan. Mengenai fokalisator intern, memang, ia dapat membentuk visi yang berat sebelah, sebab pembaca hanya melihat peristiwa dari satu sudut pandang salah satu tokoh. Namun, fokalisator seperti ini sangat intens dan mendalam.

Novel Pipisahan bercerita tentang seorang istri yang diceraikan oleh suaminya atas permintaan ayahnya, meskipun mereka sudah beranak tiga. Melalui fokalisator intern-sekunder si perempuan (Emin) mendedahkan liku-liku kehidupan seorang janda beranak tiga. Dari cerita tersebut terungkap betapa rentannya seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Menurut pandangan Emin dengan sepucuk surat talak dari seorang suami, seorang istri dengan sekejap mata bisa berubah statusnya menjadi seorang janda[8].

Lebah dinyana mah tétéla ngawasana lalaki téh. Papisah téh kapan kakara tadi isuk-isuk. Tapi méméh kuring clak kana karéta api, surat pangjurung balik téh geus bisa kabahankeun. Tétéla gampang pisan nyerahkeun téh geuning, teu kawas ngarangkepna baréto. Kudu dipatri heula ku jangji, kudu dipénta dikurihit heula ka kolot. Ari surat talak mah bangunna cukup ku ménta bari ngaliwat. (hlm. 16)

Pada titik itu jelas laki-laki itu berkuasa. Bukankah perpisahan itu baru tadi pagi. Tetapi, mengapa sebelum aku naik kereta api, surat penglepasan itu sudah bisa kuterima. Jelas menceraikan itu mudah sekali, tidak seperti menyatukannya dahulu. Harus diikat dengan janji, harus diminta kepada orang tua. Tampaknya, surat talak itu bisa didapat dengan cukup memintanya sambil lewat.

Tak ada penggambaran peristiwa erotis dalam novel Pipisahan, seperti dalam Lain Éta. Akan tetapi, seksualitas tak selalu terkait dengan seks dan peristiwa erotis. Bahkan, mungkin, seksualitas perempuan itu dapat dilihat justru pada peristiwa-peristiwa yang dianggap netral. Novel Pipisahan menjelaskan kedudukan seksualitas perempuan yang menjadi subordinat seksualitas laki-laki. Dalam novel tersebut terlihat bahwa dalam ikatan perkawinan laki-laki itu dominan, hingga seorang istri bisa dengan mudah diceraikan. Akan tetapi, ada hal lain yang juga menarik dalam novel ini. Pertama adalah hadirnya Eja, istri baru bekas suami Emin, kedua penggambaran citra perempuan yang terikat dengan anak-anaknya, ketiga dikembangkannya basis ekonomi oleh Emin.

Tokoh Eja adalah tokoh yang memutuskan tali perkawinan antara Emin dengan suaminya. Meskipun perceraian itu dipicu oleh tuntutan orangtua sang suami, tetapi yang langsung menggantikan kedudukan Emin adalah Eja. Dengan demikian, Ejalah yang menggantikan posisi Emin sebagai istri. Jika dalam novel Lain Eta posisi Mahmud digantikan oleh suami pilihan ayah (yang tidak dicintainya), maka dalam Pipisahan posisi istri dari sang suami digantikan oleh Eja. Secara gender, dapat dikatakan bahwa yang merusak posisi orang yang dicintai perempuan itu tidak hanya datang dari laki-laki, namun datang juga dari sesama perempuan[9]. Tak ada solidaritas di antara para perempuan.

Hal kedua adalah keterikatan perempuan dengan anak-anaknya. Pencerita mengisahkan bahwa yang paling menyusahkan hati dalam perceraian bukan karena alasan duriat (cinta?), tetapi karena anak (hlm 6). Anak-anak menjadi beban ibunya. Meskipun pada awal perceraian anak-anak dibagi antara Emin dan suaminya, namun akhirnya hanya menjadi beban Emin. Konstruksi hubungan ibu dan anak ini memang stereotif[10]. Ketika sang suami bercerai pisisi Emin digantikan oleh perempuan lain (Eja), namun Emin sendiri justru membiarkan posisinya yang kosong itu tetap kosong, walaupun dirinya merasa tidak bulat (hlm.106). Anaklah yang menjadi fokus perhatian Emin, sehingga masalah lain menjadi tampak kecil. Dengan begitu, seorang perempuan bukan hanya milik ayah dan suaminya, namun juga milik anak-anaknya.

Hal ketiga yang menarik dari novel Pipisahan ini adalah dikembangkannya basis ekonomi. Setelah diceraikan oleh suaminya dengan kemampuan yang dimilikinya Emin kemudian membuka usaha penjahitan baju yang dan berdagang pakaian. Dengan kemandiriannya ia bahkan dapat membantu istri bekas suaminya saat bekas suaminya menderita sakit. Di akhir cerita si tokoh utama merasa bahagia karena ketiga anaknya yang sudah menjadi orang, semuanya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Seperti pada novel-novel sebelumnya, Pipisahan juga menggambarkan rentannya diri perempuan. Diri perempuan adalah milik orang tua, suami (dan juga anak-anaknya). Dalam perkawinan tubuh perempuan sangat rentan. Ia hanyalah sebuah subordinat dari kekuasaan laki-laki. Namun, dalam kerentaanan itu novel Pipisahan mengembangkan basis ekonomi yang menjadi sumber kemandirian. Saya kira, inilah sumbangan Pipisahan yang pantas dicatat bagi kemandirian tubuh perempuan dan otonomi atas seksualitasnya. Emin dalam Pipisahan dapat dibandingkan dengan tokoh Empat dalam Sripanggung karya Caraka dan tokoh Siti Rajati dalam novel Siti Rajati karya Moh. Sanoesi.

6

Penggambaran seks yang lebih terbuka dan lebih berani dari novel-novel sebelumnya adalah pada Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati karya Ahmad Bakri yang terbit tahun 1987 dari penerbit Rahmat Cijulang. Ahmad Bakri (Rancah, Ciamis 11 Mei 1917-Ciamis, 18 Juli 1988) adalah seorang guru, di samping sebagai pengarang dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Ia adalah pengarang Sunda yang sangat produktif. Karya-karyanya banyak digemari karena bahasanya hidup dan memiliki kecenderungan humor yang kuat. Karya-karya Ahmad Bakri mencakup cerita anak, cerpen dan novel. Banyak cerpen dan novel yang masih berbentuk cerita bersambung di majalah-majalah belum dijadikan buku. Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati adalah salah satunya.

Novel ini juga bercerita tentang kasih tak sampai. Dalam bagian Asmaramurka yang paling banyak menjadi objek fokalisasi adalah Amin sedangkan dalam bagian Bedog Si Rajapati adalah Nonoh. Dengan penggunakan pencerita ekstern diceritakan bahwa Amin berkasih-kasihan dengan Nonoh, tetapi ayah Nonoh yang juga masih pamannya Amin tidak menyetujuinya. Nonoh oleh ayahnya dikawinkan dengan laki-laki yang sudah beristri, alasannya karena laki-laki tersebut kaya. Baik Amin maupun Nonoh menjadi sakit hati. Untuk mengobati rasa sakit hatinya Amin “berpetualang” dari pelukan perempuan yang satu ke perempuan yang lain. Ia melepas kejejakaannya di pelukan Emah, janda muda kesepian yang sejak masih gadis sudah mencintai Amin. Untuk menghilangkan dahaganya Amin juga pergi ke rumah pelacuran. Nonoh yang dipaksa kawin dengan Darimi atas kehendah ayahnya juga tidak bahagia. Ketika suaminya kawin lagi, Nonoh mulai teringat kembali kepada Amin.

Ada banyak peristiwa erotis dan hubungan seksual dalam novel Asmaramurka baik oleh Nonoh (seorang istri kemudian menjadi janda), Imas (seorang istri yang kesepian), Emah (seorang janda), maupun oleh Si Boyoh dan si Asih (keduanya ronggeng yang merangkap jadi pelacur). Peristiwa berikut ini adalah salah satu contoh gambaran erotis yang dilakukan oleh Amin, sebagai tokoh utama, dengan Imas seorang istri yang kesepian karena suaminya kurang memperhatikan kebutuhan seksnya padahal usianya masih muda. Perselingkuhan ini terjadi di rumah Imas.

“Ceu..., Ceu..., sok atuh écag, abdi rék wangsul....”

Imas beunta lalaunan bangun teu purun. “Rék uih waé keukeuh?”

Amin unggeuk nénjo harigu Imas buligir téh. Birahina timbul deui. Haténa bingbang.

“Ngga atuh rék uih mah, tapi anteurkeun heula Ceuceu ka ditu....”

“Anteurkeun ka mana....”

“Ka ditu...,” cék Imas bari nunjuk ka enggon.... “Sugan waé katutuluyan dina impian, peupeuriheun....”

“Yu atuh ku abdi dijajapkeun.... Sok atuh lungsur, geuning kalah ngalempréh...!”

“Lah asa lungsé pisan puguh.... Teu kaduga leumpang....”

“Ari tos... kedah kumaha...? Palay dipangku....”

Imas unggeuk.

“Ah ogo pisan Ceuceu geulis téh,” cék Amin.

...

“... Lah, na aya hareudang-hareudang teuing ieu téh,” cék Imas bari nyingklakkeun kimono ku dua leungeun.... Bray waéh, awak nu sakitu sampulurna téh buligir témbong kabéh....

Amin kawas beuki karanjingan. Kawas aya nu nyurungkeun, gajleng waé luncat kana ranjang, ngarontok nu ngajepat dina kasur. Dirangkul, ditangkeup sataker tanaga, digalémoh. Haté Imas surak, kahanaangna laksana. Leungeunna ngopépang ngalaanan papakéan Amin... (hlm. 90-92).

“Kak..., Kak..., turunlah, saya mau pulang...”

Imas membuka matanya pelan-pelan seperti sungkan. “Mau pulang?”

Amin menganggukkan kepala memandang dada Imas telanjang. Berahinya timbul kembali. Hatinya bimbang.

“Jika mau pulang silahkan saja, tapi antarkan dulu Kakak ke sana....”

“Diantar ke mana....”

“Ke sana...,” kata Imas sambil menunjuk ke kamar... “Kalau-kalau nanti bisa diteruskan dalam mimpi, aku menyesal....”

“Mari saya antar .... Turunlah, lho kok malah tidur...!”

“Lah rasanya lemas sekali.... Tak kuat berjalan....”

“Lalu... harus bagaimana...? Mau digendong....”

Iman mengangguk.

“Ah kakak cantik ini manja sekali,” kata Amin.

...

“... Rasanya gerah sekali,” kata Imas sambil menyingkapkan kimononya dengan kedua belah tangan.... Terbukalah, badan dan mulus itu telanjang, semuanya tampak....

Amin seperti semakin kerasukan. Seperti ada orang yang mendorong, ia melompat ke atas ranjang, menangkap tubuh yang terlentang di atas kasur. Dipeluk, didekap sekuat tenaga, digumuli. Hati Imas bersorak, dahaganya terpuaskan. Tangannya sibuk membuka pakaian Amin....

Adegan ini hanya salah satu dari banyak adegan yang dilakukan Amin sebagai tokoh utama dengan banyak perempuan. Perlu dicatat bahwa perempuan yang tidur dengan Amin kalau tidak janda, pelacur, atau istri yang kesepian, pokoknya bukan perawan. Diceritakan bahwa Amin hampir celaka karena mencoba menggoda seorang gadis desa. Erotisme yang dilakukan Amin dengan perempuan-perempuan ditempatkan oleh pencerita dalam konteks perselingkuhan atau pelacuran. Oleh karena itu, orang-orang yang terlibat dalam hubungan seksual tersebut adalah orang-orang yang melanggar aturan moral. Karena ukurannya moral, maka pada akhir cerita, meskipun Amin sudah bertaubat dan sudah memuntut ilmu agama di pesantren, ia terbunuh justru dengan cara yang mengenaskan sebelum ia sempat menikahi seorang gadis.

Dalam bagian Bedog Si Rajapati Nonoh lebih banyak menjadi objek fokalisasi. Akan tetapi, dalam bagian Asmaramurka pun sudah diceritakan bahwa Nonoh mulai merindukan Amin. Beberapa kali ia mengajaknya berselingkuh, namun Amin tak mau melayaninya. Kemudian ia hidup secara bebas dengan seorang mantri polisi. Akhirnya, karena kesal dan ketahuan bahwa Amin akan menikah dengan gadis tetangganya, dengan menggunakan tangan Mas’an Amin direncanakan akan dibunuh. Namun, sebelum rencana Mas’an terlaksana, seseorang telah medahului membunuhnya. Dalam mencari pembunuh Amin inilah Ahmad Bakri mengembangkan novel misteri. Setelah Amin terbunuh Nonoh ditangkap polisi. Pencerita mengatakan bahwa Nonoh yang tadinya dihormati dan marupakan perempuan baik-baik akhirnya harus meringkuk di kantor polisi dengan perut terus membesar sebagai hasil dari perselingkuhannya dengan Mantri Pulisi, yang dipindahkan ke daerah Banten Selatan, setelah perempuan lain (Emah) yang dihamilinya bunuh diri.

Secara intertekstualitas posisi Nonoh hampir sama dengan Neng Eha. Keduanya memiliki kekasih, tetapi kawin dengan pria pilihan ayahnya. Perkawinannya tidak bahagia lalu hidup dalam perselingkuhan. Bedanya, Neng Eha kembali ke rumah orang tuanya kemudian bertobat dan aktif dalam organisasi kewanitaan Islam, Nonoh malah terus “ngancrud”. Pada akhir cerita digambarkan ayah Nonoh meninggal karena stress. Nonoh sendiri menanggung malu karena hamil, masuk tahanan karena merencanakan pembunuhan, dan akhirnya menjadi gila(?). Menurut hemat saya, baik pada Neng Eha maupun pada Nonoh seks dan seksualitas perempuan adalah terlarang sebab meskipun digambarkan secara “terbuka” ditempatkan pada konteks pelacuran dan perselingkuhan. Di sini seks ditampilkan untuk kemudian dihajar secara moral.

Gambaran seksualitas novel ini mengingatkan saya pada sebagian novel yang terbit tahun 60-an dan 70-an yang diterbitkan dalam jilid-jilid tipis ukuran kira-kita 17 X 13 cm dengan jumlah kira-kira antara 40-50 halamah. Beberapa di antaranya ialah Djaka Tarum (1970), Dunya Dipatil Lélé (1971) karya Juda Djaja, Mutiara Saba Kontrak (1970) Wanodja Njanding Supata (1971) karya Entang S., Saha Kuring (1970) karya Ki Masram, Rosita Ngagunasika (1969) karya M. Gandaputra. Akan tetapi, menurut Duduh Durahman (1984: 48), salah seorang kritikus sastra Sunda yang tekun, jika dilihat secara estetis novel-novel ini sangat rendah. Jangan ditimbang dengan timbangan sastra, ditimbang sebagai ukuran novel pelipur lara pun masih belum sehat.

7

Novel Galuring Gending (2001) karya Tatang Sumarsono merupakan novel yang paling tebal di antara novel yang saya analisis. Terdiri atas 336 halaman dengan ukuran buku 21 cm X 14,7 cm, dan terdiri atas 40 bagian. Novel ini sudah dua kali mendapatkan hadiah sastra, pertama sebagai juara kedua lomba penulisan novel Hadiah Sastra D.K. Ardiwinata yang diselenggarakan oleh Lembaga Budaya Paguyuban Pasundan tahun 1999 (dalam pasanggiri ini tak ada juara pertama); kedua, mendapatkan Hadiah Rancage pada tahun 2001. Tatang Sumarsono sendiri adalah wartawan di samping seorang penulis buku pelajaran, biograf, pekamus dan sastrawan. Pendidikan tertinggi yang diikutinya adalah di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah IKIP Bandung yang sekarang menjadi UPI. Sebagai sastrawan ia dikenal sebagai pemburu hadiah sastra. Bersamaan dengan hadiah sastra Rancage tahun 1992, ia pun mendapat hadiah sastra Oeton Moehtar untuk naskah novel “Ujay Kodok”. Novelnya Demung Janggala (1993) mendapatkan Hadian Sastra Rancage untuk tahun 1994. Cerita anak berjudul Si Paser (1992) mendapatkan Hadiah Samsudi tahun 1993. Di samping itu, ia pun sering mendapatkan hadiah baik dari LBSS maupun majalah Manglé untuk cerita-cerita pendeknya.

Novel ini menggunakan tiga pencerita, yaitu satu pencerita ekstern dan dua pencerita intern: Sarah dan Panji. Bentuk penceritaan seperti ini merupakan hal baru dalam kesusastraan Sunda, yang umumnya hanya menggunakan satu pencerita primer. Dengan fokalisator yang juga tiga, yaitu fokalisator ekstern, fokalisator Sarah dan Panji kita dibawa pada tempat memandang yang berbeda-beda. Fokalisator ekstern menyarankan satu kenetralan atau mengharapkan adanya objektivitas. Namun, selain dibawa pada tamasya objektif kita pun dibimbing oleh fokalisator intern Sarah dan Panji untuk melihat problematika subjektif para tokoh dan tanggapan-tanggatan di antara mereka.

Novel ini bercerita tentang percintaan antara Sarah seorang penari dan Panji seorang aktivis politik. Sarah adalah seorang penari berbakat yang sering melanglangbuana. Ketika ia berada luar negeri untuk satu pertunjukan ia “diperkosa” Um Sar, guru tarinya yang sekaligus ketua rombongan. Sarah tidak dapat membuka rahasia tersebut kepada siapa pun, tetapi hidupnya menjadi hampa. Sejak itu ia menjadi wanita simpanan beberapa laki-laki hidung belang, di antara mereka adalah pejabat negeri. Ketika ia keluar dari sebuah diskotik dalam keadaan mabuk, ia ditolong oleh Panji. Sejak itulah percintaan antara Sarah dan Panji berlangsung. Sarah memiliki rumah dan harta kekayaan yang cukup, bisa membantu keluarganya. Panji adalah seorang aktivis dan juga penulis masalah politik di media massa. Akan tetapi, percintaan mereka tidak berakhir dengan perkawinan. Setelah Panji dikeluarkan dari penjara karena aktivitas politiknya, ia menghilang saat di Jakarta terjadi kerusuhan.

Dari gambar sampul, judul serta fokalisasi yang terakhir saya memahami bahwa novel Galuring Gending ini terutama bercerita tentang Sarah, seorang penari. Bagaimana tubuh Sarah digambarkan? Dalam bagian 16 terdapat adegan ketika Panji memandang Sarah yang sedang tertidur pulas. Pencerita berdiri di luar pelaku, dan fokalisator memandangnya dari luar tokoh Panji. Dengan demikian, hal ini menyarankan objektivitas.

Si timu masih kénéh ngageubra, can robah posisina. Ah, ku sarérétan ogé palias maké nyalahan: néng-timu-ti-diskotik téh geulis. Irungna bangir, luhureun biwir luhurna ngageleng bulu lemes (Panji teu wasaeun mun nyebut kumis, bisi matak jatoh harga)- asa nempo “kumis” Iis Dahlia, biduan dangdut anu nyanyina bari kekecebesan di sisi laut; cinta bukanlah kapal..., cenah. Beungeutna ngadaun seureuh, ari awak ngalampanyat (mun dina jeujeur mah pantesna téh keur ngala beunteur, lain potongan jegjreg paranti nguseupan deleg di ranca). Rét kana bulu matana; ana dibawa peurum téh kawas nu ngahaja meunang nganyam. Buukna, éta buukna, galing ombak banyuan; sawaréh nutupan harigu kéncana. Cacak mun rompina rada ngaliglag, geus moal boa gunungna-éh, lain gunung, kétang, tapi pasir merenahna mah-témbong maruncugug. Ari tina hulu angen tepi ka luhureun tarangbaga geus pasti kana ratana, moal aya garunjal-garinjul ku paleuleuwih gajih atawa kulit lilipitan. Heueuh, ieu mah ukur karék ceuk panénjo haté; kitu pipanteseunana. Mun téa mah rék disebut aya kurangna, éta, pakulitanana rada-rada reueuk, henteu bodas kawas tipp-éx, atawa ngénclong lir marmer itali. Tapi, ah, moal matak loba nyangkolong kana peunteun, turunna ogé paling-paling enol koma sakitu (hlm.137).

Si timu masih tertidur pulas, posisinya belum berubah. Ah, dengan pandangan sekilas saja tak mungkin salah: neng-timu-dari-diskotik itu cantik. Hidungnya mancung, di atas bibir atasnya tergutas tipis rambut yang halus (Panji tak kuasa menyebutnya kumis, takut harganya akan jatuh)- rasanya seperti melihat “kumis” Iis Dahlia, penyanyi dangdut yang bernyanyi sambil berbasah-basah di pantai; cinta bukanlah kapal..., katanya. Mukanya berbentuk seperti daun sirih, badannya tinggi semampai (kalau dibandingkan dengan jeujeur, alat memancing, tepatnya untuk memancing beunteur, tidak berbentuk kaku seperti untuk memancing deleg di rawa). Melihat bulu matanya; kala terpejam seperti sengaja dianyam. Rambutnya, rambutnya, ikal bergelombang; sebagian menutupi dada kirinya. Jika saja rombinya terbuka, pasti gunungnya -eh, bukan gunung, tapi pantasnya bukit- tampak menyembul. Dari uluhati sampai ke bagian atas kemaluannya sudah pasti rata, tak kan ada gelombang-glombang lemak yang berlebih atau lipatan-lipatan kulit.Ya, ini baru menurut pandangan hati; begitulah pantasnya. Jika mau disebutkan pula kekurangannya, itulah, kulitnya agak gelap, tidak putih seperti tipp-ex, atau bening seperti marmer itali. Tapi, ah, hal itu tidak akan mengurangi nilainya, kalaupun turun paling Cuma nol koma sekian.

Bandingkan dengan gambaran Panji oleh Sarah. Gambaran ini ada pada bagian 19. Penceritanya Sarah dan fokalisator dilakukan oleh Sarah. Oleh karenanya, menyarankan sebuah subjektivitas.

Panji:

LALAKI anéh.

Kitu nu ditulis dina buku harian Sarah: Kemis, 2 Novémber 1995.

“Lalaki sederhana. Lalaki siga Dustin Hoffman. Urang lembur. Teu boga gawé matuh, tapi pinter jeung loba kanyahona. Teu bisaeun ngarayu, tapi jujur. Kuring mimiti kataji ku anjeun. Ari anjeun kataji ku kuring, Panji?” (hlm.168)

LAKI-LAKI aneh.

Begitulah yang tertulis dalam buku harian Sarah: Kamis, 2 November 1995.

“Laki-laki sederhana. Laki-laki seperti Dustin Hoffman. Orang kampung. Tak punya pekerjaan tetap, tetapi pintar dan banyak pengetahuannya. Tak bisa merayu, tetapi jujur. Aku mulai tertarik olehmu. Apakah kamu juga tertarik olehku, Panji?”

Dalam hal ini, yang penting bukan hanya panjang pendeknya gambaran, tetapi juga apa yang dipandang oleh Panji terhadap Sarah dan apa yang dipandang Sarah terhadap Panji? Melalui pencerita ekstern kita dituntun oleh fokalisator ekstern untuk melihat Sarah. Apa yang dilihat fokalisator dalam diri Sarah adalah tubuhnya: hidungnya, “kumisnya”, mukanya, badannya, bulu matanya, rambutnya, buah dadanya, perutnya, kulitnya. Namun, yang dilihat pencerita intern dan fokalisator intern Sarah terhadap Panji adalah pekerjaannya dan kepintarannya, keperayuannya, dan kejujurannya. Sarah adalah penari yang menggunakan aktivitas dengan tubuhnya sedangkan Panji adalah aktivis politik yang bekerja tetutama dengan pikirannya. Sayang sekali novel yang menceritakan penari ini tidak diikuti dengan eksplorasi lebih jauh tentang tubuh penari, tidak seperti Nu Kaul Lagu Kaleon karya R.A.F. yang mampu mengeksplorasi seluk beluk tembang Sunda.

Hal kedua yang ingin saya catat adalah perihal seksualitas Sarah. Dilihat dari posisi Sarah Galuring Gending sebenarnya bercerita tentang keperawanan. Terutama, tentang konsekuensi-konsekuensi rusaknya keperawanan sebelum waktunya. Sejak Sarah menyerahkan keperawananya kepada Um Sar, hidupnya berubah. Hidupnya menjadi sensitif dan kebingungan. Sejak itulah ia jatuh dari pelukan laki-laki yang satu ke laki-laki yang lain hingga akhirnya ia bertemu dengan Panji. Sebenarnya, Panji pun tidak jejaka lagi, namun ia tak mempersoalkannya. Hal ini barangkali yang membuat Sarah bertanya: Mengapa ia menjadi perempuan? (hlm. 111). Ia sangat membutuhkan Panji, sebab berdekatan dengan Panji seperti menemukan hakikat dirinya sendiri (hlm. 237), namun ketika Panji memintanya untuk menikah ia tak mampu meluluskannya.

Dari peristiwa seperti itu dapat dipahami bahwa eksistensi perempuan sangat ditentukan oleh alat kelaminnya, lebih spesifik lagi keperawanannya. Ketika ia direnggut sebelum waktunya rusaklah seluruh diri si perempuan. Keperawanan adalah persembahan perempuan kepada suaminya di malam pertama. Lain halnya dengan laki-laki. Ada satu ungkapan “lalaki mah moal tapakan.” (tak akan ada bekas pada lelaki). Meskipun ia melakukan hal yang jauh lebih buruk secara seksual, ia tetap dianggap bersih. Oleh karena itu, konsep keperawanan ini juga menjadi alat kontrol terhadap perempuan, tentu saja, oleh laki-laki.

8

Penggambaran seks yang berbeda dengan novel-novel Sunda sebelumnya terdapat dalam novel Pangantén yang tahun ini mendapatkan hadiah Rancage. Tiga tahun sebelumnya (tahun 2001) novel ini menjadi juara harapan dalam lomba penulisan novelet hadian Oeton Moetar yang diselenggarakan oleh majalah Manglé. Dédén adalah pengarang novel generasi baru. Deden pernah mengaji di Pesantren An-Nur, Cibeber Cianjur, SMA dan IKIP Bandung (sekarang UPI). Selain menulis novel ia menulis sajak dan cerita pendek baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Beberapa karyanya yang lain pernah mendapatkan Hadiah Sastra LBSS dan D.K. Ardiwinata. Selain sastrawan Dédén juga pernah menjadi wartawan Manglé dan Metro Bandung.

Pangantén bercerita tentang seorang remaja putri, Rinrin, yang ditinggal mati oleh laki-laki yang menjadi teman dekatnya, Gumilang. Laki-laki itu adalah kawan dialog Rinrin. Ketika Gumilang meninggal, Rinrin menjadi limbung. Hidupnya terus dibayang-bayangi oleh kenangan akan Gumilang. Hingga pada satu ketika ia pun ingin menikah seperti Gumilang dan iapun meninggal dunia seperti Gumilang, yang mati setelah menginginkan perkawinan.

Cerita novel Pangatén itu sederhana, tak ubahnya seperti cerita dalam novel-novel remaja pada umumnya. Yang menarik adalah penggarapannya. Novel ini menggunakan pencerita intern serta fokalisator intern. Pendengar, yakni kepada siapa si pencerita menyampaikan ceritanya juga dihadirkan, ia adalah Gumilang sendiri. Akan tetapi, karena Gumilang sudah meninggal, cerita ini menjadi semacam “monolog” atau buku harian, yang ditulis untuk dibaca oleh si penulisnya. Bersama Rinrin kita ikut melihat, mendengar, dan merasakan kekalutan si tokoh utama sejak ditinggal mati oleh teman dekatnya, Gumilang. Ketepatan pengambilan penceritaan dan fokalisasi ini memungkinkan novel Pangantén memasuki wilayah bahasa yang berbeda dari karya pengarang-pengarang sebelumnya. Dan, atas upaya ini novel ini mendapat pujian dari beberapa kritikus. Di samping itu, penggunaan fokalisator intern pun memungkinkan Rinrin untuk mengemukakan hal-hal yang sangat pribadi, misalnya tentang gambaran seks dan erotisme. Karena cerita disampaikan kepada orang yang sangat akrab dan dipercaya, atau kepada dirinya sendiri, maka penyebutan alat kelamin bisa keluar dengan leluasa.

Lalu, bagaimana seksualitas perempuan dalam Pangentén digambarkan?

Seperti halnya novel Galuring Gending novel ini pun memiliki kesadaran pada keberadaan seks dan seksualitas antara laki-laki dan perempuan. Si tokoh utama tidak mau lagi menjadi perempuan yang selalu menjadi objek. Ia ingin menjadi subjek, ingin menjadi si pemegang peran: “Urang embung jadi obyék, tapi hayang jadi subyék. Hayang jadi nu boga lalakon (hlm. 55). Jalan yang ditempuh untuk mewujudkan keinginannya adalah dengan hidup secara laki-laki. Akan tetapi, dalam bagian lain ia pun digambarkan berperilaku seperti perempuan yang suka membereskan seprai yang dianggapnya merupakan pekerjaan yang khas bagi perempuan sehabis berhubungan seks (hlm 76).

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bubungan antara Rinrin (perempuan) dan Gumilang (laki-laki). Rinrin mengorientasikan hidupnya pada Gumilang. Rinrin bisa berbicara dengan Gumilang karena ia bisa diterima dengan netral (hlm. 57). Karena itu, ketika Gumilang meninggal Rinrin menjadi limbung, dan mengalami “kelainan” jiwa. Setelah Gumilang meninggal ia berubah menjadi “hantu”. Rinrin masih berbicara kepada Gumilang seolah-lah dia masih hidup. Ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan bernama Suminar setelah diintroduksi dengan pembayangan Gumilang, ia berhubungan kelamin dengan Ben karena dibayangi ingatannya akan Gumilang. Kemudian, ia pun ingin kawin seperti Gumilang, dan memang, ia mati seperti Gumilang, tetapi entah dengan Gumilang.

Dalam pemaknaan yang berorientasi gender saya memahami bahwa seksualitas Rinrin (perempuan) sangat ditentukan oleh orientasinya kepada Gumilang (laki-laki). Betapa berkuasanya laki-laki. Ia masih bisa mengontrol diri Rinrin bahkan ketika ia tidak hadir (sudah meninggal sekalipun). Dalam hubungan gender, seksualitas perempuan dalam Pangantén tidak memberikan jalan keluar atas dominasi laki-laki, selain malah mengukuhkannya. Oleh karena itu, bukannya menjadi subjek, tokoh perempuan dalam Pangantén malah menjadi objek “hantu” laki-laki.

9

Sebagai catatan akhir dapat saya nyatakan bahwa penggambaran seksualitas perempuan oleh pengarang laki-laki umumnya tidak bergeser dari stereotif bahwa tubuh perempuan terikat dengan dunia domestiknya. Tubuh perempuan adalah tubuh yang rentan baik secara fisik (karena pemerkosaan) maupun secara hukum (mudah bagi lelaki untuk menceraikannya). Dengan demikian, tubuh perempuan bukan miliknya, tetapi milik ayahnya, sumainya, atau terikat kepada anak-anaknya. Keadaan ini tidak berubah meskipun novel-novel yang dianalisis terbit dalam waktu yang sangat berjauhan: satu terbit pada masa kolonial, dua pada zaman Orde Baru, dan dua lagi terbit pada pasca-Orde Baru. Salah satu sumbangan penting untuk membangun kemandirian tubuh ditunjukkan dalam novel Pipisahan karya R.A.F. yaitu dengan dibangunnya basis ekonomi seperti yang dilakukan Emin.

Di dalam novel-novel Sunda seks dan seksualiatas perempuan banyak ditempatkan pada konteks pelecehan, pemerkosaan atau pelacuran. Oleh karena itu, penggambaran seks dan seksualitas perempuan menunjukan contoh buruk yang mesti dihukum secara moral.

Sebenarnya selain terkait dengan tubuh dan erotisme, penggambaran seksualitas perempuan dalam novel Sunda yang ditulis oleh para pengarang pria terkait pula dengan semacam “kompleks cinta romantis”. Novel-novel yang menceritakan kasih tak sampai seperti dalam novel Lain Éta, Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati sebenarnya mengimplisitkan sebuah “kompleks cinta romantik”. Menurut Giddens (2004: viii) etos cinta romantis memiliki efek ganda pada situasi perempuan: Di satu sisi membantu menempatkan perempuan “pada tempatnya” - yaitu rumah, namun di sisi lain dapat dilihat sebagai pertunangan aktif dan radikal dengan sifat “kelaki-lakian” (maleness) masyarakat modern. Seperti ditunjukkan oleh Giddens (2004: 55) kompeks cita romantik itu memiliki ciri-ciri: pertama bahwa kasih sayang, unsur cinta yang luhur, cenderung mengalahkan hasrat seksual; kedua, cinta romantis sering dianggap lahir dari daya tarik instant - “cinta pada pandangan pertama”. Meskipun Amin melakukan hubungan seks di luar nikah, namun sebelum pernikahan Nonoh ia tetap menjaga hasrat seksualnya. Neng Eha dalam Lain Éta jatuh cinta pada pandangan pertama. Novel-novel Sunda itu pada awalnya disebut roman. Giddens (2004: 54) menyatakan bahwa bukankah bercerita itu sendiri merupakan satu bentuk “romantisme”.

Sebelum kemunculan novel-novel karya perempuan seperti Saman, saya kira fenomena penggambaran seksualitas dalam novel Sunda tidak jauh berbeda dengan sastra Indonesia. Penggambaran seksualitas tersebut sama-sama, menurut istilah Harry Aveling, seperti “Mawar Berduri” (the throny rose). Padahal dalam sastra lama penggambaran seksualitas merupakan sesuatu yang biasa, baik di dalam sastra Jawa, Sunda maupun Melayu. Jika Aveling menyebut perbedaan penggambaran seksualitas antara sastra lama dan modern ini sebagai “kontras yang aneh”, Goenawan Mohamad justru menyebutnya sebagai “kontras yang wajar”. Dalam kalimat awal esai tanggapan kepada Aveling Goenawan dengan jitu mengatakan bahwa “seks adalah suatu resiko dalam kesusastraan Indonesia modern” (1981: 1). “Suatu resiko”, artinya akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan[11]. Goenawan menjelaskan bahwa kesusastraan lama selain memiliki khalayak yang sudah intim, juga sekaligus merupakan khalayak homogen yang lebih toleran terhadap penggambaran seksual, sedangkan kesusastraan modern dengan tegaknya yang ragu dan self-conscious, dengan posisinya yang gampang kena di tengah-tengah masyarakat yang heterogen mau tak mau ditentukan sebagian hidupnya oleh konflik itu. Oleh karena itu, dalam tingkat tertentu ia berada dalam situasi hipokrisi: berada dalam suatu ketegangan antara dorongan pembebasan emosional (yang berarti juga pembebasan individu dari sistem pantangan dan inhibisi) dengan ketakutan untuk memberontak (1981: 12).

Masih banyak hal yang dapat diungkap mengenai penggambaran seksualitas perempuan dalam novel Sunda karya pengarang pria. Tulisan ini belum menyentuh novel-novel Caraka, Yuhana dan Syarif Amin yang menduduki posisi yang kuat dalam sastra Sunda. Tulisan ini juga tidak menyentuh novel-novel tipis berjilid-jilid yang banyak bermunculan sekitar tahun 60-an dan 70-an. Cag!



* Saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Eris Risnandar, Sdr. Dian Hendrayana dan Kang Hikmat Gumelar yang telah membaca draft awal tulisan ini dan memberikan kritik dan saran-saran yang berarti. Akan tetapi, seluruh isi beserta kelemahan dan kekurangannya sepenuhnya merupakan tanggung jawab saya.

[1] Jan van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn dalam buku Pengantar Ilmu Sastra (1986) menyatakan bahwa fokalisasi adalah hubungan antara unsur-unsur peristiwa dan visi yang disajikan kepada kita sebagai pembaca. Ia terdiri atas subjek dan objek fokalisasi dan merupakan objek lagsung bagi teks naratif (hlm. 131).

[2] Asep Yusup Hudayat, S.S. pernah menyusun naskah untuk buku perihal lelucon seks dalam folklore Sunda yang datanya diambil dari penelitiannya di daerah Sumedang. Sayang bukunya tak jadi diterbitkan.

[3] Saya teringat ketika seorang guru mengaji menerangkan pelajaran mengenai salat jenazah. Karena kami selalu lupa posisi iman dalam posisina dengan jenazah laki dan perempuan, Pak guru mengatakan, “Pokona mah lalaki di luhur, awéwé di handap” (Laki laki di atas, perempuan di bawah. Maksudnya jika jenazahnya laki-laki iman harus berdiri sejajar dengan kepalanya, tetapi jika janazahnya perempuan iman harus berdiri sejajar dengan perutnya). Anak-anak tertawa, karena tahu hal itu mengingatkannya pada posisi senggama yang didengar secara sembunyi-sembunyi entah dari siapa.

[4] Dalam rubrik Koropak majalah Manglé no 1750, 9-15 Maret 2000 ada surat pembaca yang ditulis oleh Ani Rahma/Fanny Farlina, Aktivis Forum Reformis Sumedang yang menyesalkan dimuatnya cerpen-cerpen Dedy Windyagiri pada majalah tersebut. Menurut mereka cerpen-cerpen Dedy Windyagiri seperti Isarah Sandi Manuk Dadali”, Manuk Cingkleung Cindeten” dan Giliran Manuk Titiran” disebut berbau vulgar” dan dianggap dapat memberi pengaruh jelek kepada remaja Islam dan bisa membangkitkan nafsu berahi serta bisa menimbulkan kemaksiatan. Redaktur mengaku menerima beberapa surat senada dan akan mendiskusikannya secara serius.

[5] Dalam pengantar singkatnya redaktur Manglé menulis, “Adegan-adegan nu ‘ludeungan teuing kapaksa disénsor’, cara Néng Éha keur abur-aburan tepung peuting-peuting jeung Dén Kosim di jalan nu tiiseun, basa néangan bumi Juragan Kusumah.” (Adegan-segan yang “terlalu berani terpaksa disensor”, seperti Neng Eha waktu lari dari rumah bertemu malam-malam dengan Den Kosim di jalan yang sepi, ketika mencari rumah Tuan Kusumah).

[6] Dalam pengantar buku Oerang Desa (1950) yang diterbitkan oleh Bale Poestaka (Djakarta), Utuy menyebut Mohamad Ambri sebagai “lingga” yang memulai membangun bentuk realisme. Adapun Popo Iskandar, pada jilid belakang buku Lain Éta (1986) menyebut Moh. Ambri sebagai Bapak Realisme dalam sastra Sunda.

[7] Dalam novel Siti Rajati (1923) karya Moh. Sanoesi, perkosaan yang dilakukan Toean Steenhart terhadap si Patimah (ibu Siti Rajati) dilakukan di luar rumah yaitu di perkebunan (lihat hlm. 12).

[8] Dalam Ensiklopedi Sunda (2000) diberi keterangan bahwa perceraian yang diceritakan dalam buku ini berlangsung pada masa sebelum perang, sebelum ada BP-4.

[9] Dalam konteks poligami Faruk menyebut kemenangan seorang wanita dengan mengorbankan wanita lain sebagai women womeni lupus dalam buku Woman Womeni Lupus yang diterbitkan oleh IndonesiaTera, Magelang tahun 2000, hlm 85-97.

[10] Sebagai contoh di Indonesia ada lembaga yang mengonsentrasikan diri pada kesehatan ibu dan anak semacam BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak).

[11] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Jakarta: Balai Pustaka. (Cet. II).

Komentar