Pantun dan 500 Tahun Kesunyian Sastra Sunda

Teddi Muhtadin

Dalam bangunan periodisasi sastra Sunda Ajip Rosidi (AR)[1], carita pantun ditempatkan pada periode Jaman Buhun, yakni sebuah zaman yang umumnya memperlihatkan tatasusunan kosmos buhun, sebelum dipengaruhi oleh Islam. Inilah periode “Sunda bebas merdika, sebelum dijajah bangsa lain”. Termasuk dalam periode ini adalah dongeng, mantra dan naskah-naskah kuno. Setelah Jaman Buhun AR menyebut satu zaman yang disebut Jaman Kamari, yaitu karya-karya yang dilahirkan saat Sunda dalam masa penjajahan: Mulai dari Mataram, Belanda, Inggris, Belanda, dan Jepang. Pada periode ini jiwa Sunda nampak melemah dan ini nampak dalam hasil karya sastranya. Satu kekecualian adalah karya-karya Haji Hasan Mustapa. Periode ketiga, setelah mendeka, disebutnya sebagai Jaman Kiwari. Zaman ini disebutnya sebagai bangunnya kembali jiwa besar Sunda: renaisans Sunda. Termasuk dalam kelompok ini, di ataranya, karya-karya Sajudi, Surachman R.M. dan Rachmat M. Sas.Karana.

Periodisasi sastra AR bukan hanya deskripsi historis, melainkan juga merupakan model ideal, sebab selain menempatkan secara kronologis khazanah karya sastra Sunda juga sekaligus mencanangkan apa yang disebut sebangai renaisans sastra Sunda, yakni bangunnya kembali jiwa rancagé (aktif-kreatif) sastra Sunda yang bersumber pada sastra buhun. Dan, AR nampak kegirangan ketika manemukan sajak-sajak Sajudi yang kemudian dikumpulkan dalam buku Lalaki di Tegal Pati. Menurut AR, karya Sayudi tersebut benar-benar berupa hurip-nya kembali pantun buhun dalam basa dan jiwa Sunda yang kreatif sekarang[2].

*

Pada Jaman Kiwari ini, memang, tengah timbul kembali tentang kesadaran pada kesundaan. Kesadaran ini, kemungkinan besar, dipicu oleh evaluasi atas peran serta seler bangsa dalam kebangsaan Indonesia. Pada tahun itulah muncul berbagai kemelut yang melilit orang Sunda. Di antaranya, timbulnya pemberontakan DI/TII. Akan tetapi, timbul pula kesadaran untuk menangguanginya. Pada zaman itulah kita menyaksikan lahirnya majalah-majalah Sunda, buku-buku Sunda. Selain itu, dilangsungkan pula Konferensi Bahasa Sunda (1952), Kongres Pemuda Sunda (1956), dan lahirnya perguruan tinggi yang merupakan amanat masyarakat Sunda, Universitas Padjadjaran (1957).

*

Untuk memenuhi model ideal periodisasi sastranya, AR secara sungguh-sungguh mendokumentasikan carita-carita pantun ini. Sebanyak kurang lebih 25 carita pantun telah direkam dan 18 dipublikasikan dalam proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP&FS) yang dipimpinnya ini. Dari penelitian pantun tersebut AR membuat pula sadurannya dalam bahasa Indonesia.

Akan tetapi, sejak saat itu pantun seolah tenggelam kembali. Naskah-naskah PPP&FS menjadi kusam dan berdebu. Ketika buku Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda (2003) yang ditulis oleh Pak Jakob Sumardjo hadir di antara kita, perhatian terhadap pantun muncul kembali. Dalam pandangan Pak Jakob pantun bukan hanya cerita, musik, lagu, tetapi juga simbol. Dari pembacaannya yang telik, Pak Jakob berhasil mengurai paradigma berpikir masyarakat lokal yang dulu menciptakan pantun. Dan, upaya itu berlanjut dengan buku kedua Hermeneutika Sunda (2004) dan buku ketiga Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi (2006).

Menurut hemat saya, inilah tenaga baru bagi para sastrawan Sunda untuk berproses kreatif. Setelah Sayudi, Wahyu Wibisana dll. barangkali akan muncul lagi sastrawan-sastrawan Sunda yang dapat memanfaatkan paradigma berpikir pantun.

Saya teringat novel Gabriel Garcia Márquez, 100 Tahun Kesunyian yang ditulis dengan sudut pandang orang lokal. Dan, saya berharap semoga buku ketiga Pak Jakob ini dapat membangkitkan 500 tahun kesunyian sastra Sunda....



[1] Ajip Rosidi. 1983. “Periodisasi Sajarah Sastra Sunda” dalam Ngalanglang Kasusastra Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm. 10-31.

[2] --------------. 1983. “Sajudi: Lalaki di Tegal Pati” dalam Ngalanglang Kasusastra Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm. 198-214.


Tulisan Lawas

Komentar